Jumat, 08 Desember 2023

STUDI SASTRA LISAN

STUDI SASTRA LISAN

DALAM RANGKA SEMIOTIK SATRA

Oleh Edi Sutopo

1. Posisi Sastra Lisan dalam Kerangka Teori Sastra Umum

A

Teeuw dalam buku ini menjelaskan mengapa memasukan analisis sastra lisan dalam pembahasan tersendiri.

a. Dalam situasi komunikasi sastra ada perbedaan yang cukup menonjol antara sastra lisan dan sastra tulis; sastra tulis tidak memerlukan komunikasi langsung antara pencipta dengan penikmat; berkat kemungkinan teknologi cetak mutakhir. Namun, perlu dipertanyakan apa efek semiotik dari situasi tersebut bagi pencipta dan penikmat?

b. Biasanya penelitian terhadap sastra lisan berbeda dengan sastra tulis. A Teeuw mempertanyakan apakah bisa bisa diintegrasikan dari segi teori dan pendekatan ilmiah antara sastra lisan dan tulis.

c. Posisi sastra lisan di Indonesia yang sangat kokoh dan terpelihara dengan baik. Pertanyaannya, apakah kerangka teori sastra sastra tulis dengan demikian dapat serta merta dipakai untuk sastra lisan, atau perlu teori sastra lisan tersendiri yang lebih khas?

d. Ada transposisi antara sastra lisan dan sastra tulis. Sastra tulis sering ditampilkan dalam wujud performing art, atau dibacakan di depan umum. Di sisi lain, sastra lisan juga telah dibukukan. Dengan demikian, untuk penelitian sastra tulis, pengetahuan tentang struktur dan fungsi sastra lisan amat diperlukan.

2. Minat untuk Sastra Lisan di Eropa

A

Teuuw menyebut minat yang besar dari bangsa Eropa terhadap penelitian sastra lisan mulai abad ke-18. Pada zaman itu muncul dari para pencinta sastra keinginan untuk mulai menemukan, mengumpulkan dan meneliti sastra lisan yang dianggap primitif, baik di Eropa sendiri maupun negeri-negeri yang jauh. Dan di sisi lain, penyair Barat sendiri mulai menciptakan karya yang meneladani sastra lisan yang primitif itu dalam wujud balad yang pada awal abad ke-19 amat populer.

Dalam hubungan itu, filsuf Jerman Johann Gottfried Herder (1744-1803) mencoba meletakkan dasar ilmiah baru untuk pendekatan terhadap sastra dengan tulisan mengenai asal-usul bahasa dan tulisan. Bagi Herder, asal-usul bahasa dan asal-usul puisi identik: manusia primitif, purba, mulai belajar berbahasa lewat kesan-kesan yang diterima dari luar dirinya, dalam bentuk bunyi-bunyi yang secara spontan membayangkan impresi yang diterimanya itu.

Herder juga mengembangkan teori mengenai rakyat sebagai dasar kebudayaan yang sungguh-sungguh: berdasarkan bahasa yang sama setiap masyarakat bahasa, yang disebut Volk dalam bahasa Jerman, mempunyai semacam semangat, jenius bersama, dan semangat bangsa yang sekaligus menjadi rakyat itulah pula yang terungkap dalam sastra primitif, pratulis. Ide tentang kebersamaan masyarakat tergantikan oleh ide Herder tentang identitas bangsa dengan semangatnya, volksgeist. Volksgeist itu khususnya terungkap dalam puisi dan cerita rakyat lisan, dan justru bentuk sastra inilah yang dikumpulkan dan diterbitkan sebagai bentuk sastra yang hakiki dan sungguh-sunguh. Herder juga mengungkapkan awal mula semangat nasionalisme yang dalam abad ke-19 menjadi sangat populer di Eropa dan di Jerman pada awal abad ke-20.

3. Minat untuk Sastra Lisan di Indonesia; Sedikit Sejarahnya.

A

wal abad ke-19 adalah masa pengumpulan sastra lisan berkat kegiatan para penerjemah Kitab Injil yang sejak awal abad ke-19 diutus ke Hindia Belanda oleh Lembaga Alkitab Belanda dengan tugas utama menerjemahkan Kitab Injil dalam berbagai bahasa Nusantara, tetapi mereka selalu ditugaskan pula sebagai persiapan untuk tugas utama tersebut, untuk secarera ilmiah meneliti bahasa dan kesussatraan suku bangsa tempat mereka bekerja.

Kebanyakan peneliti Belanda dan asing yang meneliti sastra lisan Nusantara tadi besar sekali jasanya dari segi pengumpulan dan penerjemahan bahan-bahan sastra lisan, tetapi umumnya mereka tidak banyak berminat untuk aspek-aspek teori sastra yang berkaitan dengan sastra rakyat; mereka lebih tertarik pada segi ilmu atau deskripsi bahasa, khususnya berkaitan dengan posisi mereka sebagai penerjemah Kitab Injil; sebab mereka melihat ada persamaan atau kesejajaran antara bahasa dalam sastra rakyat Indonesia dengan bahasa puisi Ibrani yang dipakai dalam Perjanjian Lama. Atau mereka lebih tertarik oleh aspek antropologi, khususnya antropologi keagamaan yang berkaitan dengan sastra rakyat, khususnya yang bersifat mitos. (Mitos sebagai pembayangan struktur sosial).

4. Perkembangan Penelitian Sastra Selanjutnya; Mazhab Finlandia

P

enyelidikan sastra lisan di Eropa awalnya didasari oleh minat terhadap ilmu kemanusiaan lebih khusus ilmu bahasa dan sastra yang berorientasi pada sejarah dan bandingan. Sastra rakyat Eropa dibandingkan dengan sastra rakyat di bagian dunia yang lain. Di sinilah mulai berkembang metode dan teori historik komparatif secara sistemik, terutama di Finlandia. Mazhab ini dengan keyakinan terhadap metodenya, berobsesi untuk menjangkau semua cerita rakyat di seluruh dunia. Masalah yang dihadapai ketika akan melakukan klasifikasi dan organisasi bahan adalah justru dari melimpahnya bahan baku. Mungkinkan melakukan klasifikasi dan penggolongan atasnya?

Pada praktiknya, mazhab ini memakai dua konsep yaitu type dan motif; jadi cerita digolongkan menurut tipenya; sedangkan motif didefinisikan sebagai anasir terkecil dalam sebuah cerita yang mempunyai daya tahan dalam tradisi. Penelitian oleh mazhab Finlandia ini banyak sekali menghasilkan studi yang sangat menarik dan sangat memajukan pengetahuan tetapi pada saat yang sama juga mempunyai kelemahan. Praktiknya, penggolongan dalam tipe dan motif sangat sulit lagi pula kesimpulan mengenai tua-mudanya, dan asli tidaknya varian tertentu sukar dibuktikan.

Pertanyaan tentang di mana pendekatan mazhab historik-geografik harus ditempatkan dalam rangka model semiotik karya sastra, maka jawabnya jelas terletak pada minat utama yang terarah pada penciptaan, asal-usul cerita rakyat, sesuai dengan pendekatan sejarah yang umum berlaku dalam ilmu sastra sejak abad ke-19. Perbedaannya, umumnya penulis tidak diketahui, anonim. Dalam mazhab ini umumnya cerita rakyat tidak dilihat lagi sebagai tanda; makna karya sastra ini tidak menarik minat mereka, dan karya sastra dipecah-pecah dalam sejumlah motif tanpa fungsi dan makna.

5. Penelitian Propp mengenai Dongeng Rusia

P

endekatan yang dipakai mazhab historik-geografik mendapat kritik dari peneliti Rusia yang bernama Vladimir Propp. Dia berusaha untuk menemukan aturan yang menguasai atau menentukan susunan plot dalam sejumlah dongeng Rusia yang khas. Kritik Propp terhadap Mazhab Finlandia terutama menyangkut atomistik analitis tema dan motif. Propp tidak berusaha menjangkau seluruh cerita rakyat sedunia, tetapi berdasarkan seratus dongeng Rusia yang disebut fairy tales Propp berhasil menemukan hasil yang cukup mengejutkan, yaitu:

a. Anasir yang mantap dan tidak berubah dalam sebuah dongeng bukanlah tokoh atau motifnya melainkan fungsi, lepas dari siapa tokoh yang memenuhi fungsi tersebut.

b. Untuk fairy tale jumlah fungsi terbatas

c. Urutan fungsi dalam sebuah dongeng selalu sama

d. Dari segi struktur semua dongeng mewakili hanya satu tipe saja.

Propp mendefinisikan fungsi sebagai “tindakan seorang tokoh yang dibatasi dari segi maknanya untuk jalan lakonnya”.

Sebagai contoh:

I seorang anggota meninggalkan rumah (entah siapa orangnya: orang tua, raja, adik, dan lain-lain)

II tokoh utama atau pahlawan terkena larangan atau pantangan tertentu (misalnya tidak boleh bicara lagi, tidak boleh meninggalkan rumah, tidak boleh memetik bunga atau buah tertentu dan seterusnya)

III tabu itu dilanggar.

Jadi Propp mengembangkan semacam skema yang selalu sama dan berlaku umum namun tidak berarti bahwa setiap dongeng harus memiliki semua fungsi; ada juga dongeng yang mempunyai fungsi terbatas daripada maksimal yang menurut Propp ada 31 fungsi.

Perlu disampaikan bahwa analisis dan tipologi struktural bagi Propp bukan tujuan utama dan akhir. Dia hanya ingin memanfaatkan tipologi struktural untuk penelitian historik pula; berdasarkan analisis struktur dasar, dia berharap dapat menentukan bentuk purba dongeng tersebut (meskipun telah berkembang ke berbagai arah, tokoh dan peristiwa yang bermacam-macam, tetapi mempertahankan kerangka struktur dan fungsi yang sama). Jadi Propp ingin menggabungkan metode struktural dengan penelitian genetik, penelusuran asal-usul dan penyebaran kemudian.

Penelitian Propp ini mendapatkan respon cukup bagus di Eropa, namun tetap ada tentangan keras terutama dari peneliti Belanda J.P. Guĕpin. Menurutnya, konsep fungsi menjadi ruwet tidak dapat dibuktikan benar tidaknya dan seleksi oleh peneliti tidak dapat dicek lagi kebenarannya. Jadi, Propp tidak berhasil sungguh-sungguh membuktikan tesisnya yang terdiri atas empat dalil seperti tersebut.

Namun, jasa Propp tetap besar terutama gagasannya tentang analisis struktural tentang naratif cerita rakyat dan cerita lain; dan dia merintis jalan untuk analisis semacam itu. Sejak itu, masalah analisis struktural sebagai masalah hakiki untuk penelitian cerita rakyat tidak dapat lagi dihindari. Namun, perlu perbaikan seperti metodenya harus diperhalus, konsepnya harus dipikrkan kembali, hasilnya harus dicek terus-menerus dan disesuaikan dengan penemuan baru.

6. Penelitian Puisi Lisan: Parry dan Lord

P

enelitian lain dalam studi sastra lisan menyangkut puisi rakyat, dan tidak kurang pentingnya dari segi metode penelitian dan konsep teori umum yang dihasilkan. Pendekatan yang disampaikan di sini diilhami oleh ilmu sastra klasik barat, khususnya puisi Homeros. Seorang ahli bahasa Yunani Milman Parry dalam tulisan tahun tiga puluhan mencoba membuktikan bahwa karya Homeros memang memanfaatkan dan menggali tradisi oral sezaman dan pada saat yang sama menciptakan karya sastranya secara keseluruhan yang utuh dan sempurna.

Parry menemukan bahwa Homeros sebagai seorang penyanyi memang memanfaatkan persediaan formula yang menjadi modalnya, yang siap pakai sesuai dengan persyaratan matra yang dimanfaatkan untuk eposnya. Misalnya dia selalu memanfaatkan epitheton (kata sifat atau klausa yang berfungsi kata sifat) untuk memerikan seseorang atau suatu benda, keadaan dan lain-lain.

Misalnya:

Odysseus biasanya disebut polutlas atau polumetis (yang banyak menderita/banyak akalnya.

Achilles disebut poodas ookus (cepat kaki)

Parry meneliti di Yugoslavia dan banyak menemui cukup banyak penyanyi epos rakyat. Di sana mereka meneliti puluhan contoh epos rakyat seperti yang dinyanyikan oleh tukang cerita; meneliti teknik penciptaan epos rakyat dan cara tradisi ini diturunkan dari guru ke murid, dan mereka memberi perhatian pula pada resepsi karya sastra oleh masyarakat, yaitu audience yang menghadiri performance.

Beberapa kesimpulan penting dari penelitian Parry tentang epos Yugoslavia dapat disampaikan di sini:

a. Epos rakyat Yugoslavia oleh penyanyinya (guslar) tidak dihafalkan secara turun-temurun, tetapi setiap kali epos itu dibawakan teksnya diciptakan kembali secara spontan –dan dengan kecepatan yang sangat mengagumkan. Di dalam penciptaan itu teks disesuaikan dengan minat pendengar, keadaan pembawaannya, dan waktu yang disediakan.

b. Prestasi menciptakan karya yang panjang itu lebih mengherankan lagi kalau kita perhatikan bahwa skema matra yang harus dipakai cukup ketat, setiap larik harus terdiri atas sepuluh suku kata, dengan penggalan sesudah suku kata yang keempat, yang harus bertepatan pula dengan pemisahan kata.

c. Variasi adalah ciri khas puisi lisan; tidak ada wujud yang beku dan mantap; sastra lisan adalah sastra yang hidup, lincah, selalu diciptakan dan dihayati kembali sesuai dengan daya cipta pembawa dan penikmatnya.

7. Penelitian Modern tentang Sastra Rakyat di Indonesia: Fox, Sweeney

B

erdasarkan uraian di atas jelaslah kiranya mengapa penelitian sastra rakyat pun memerlukan kerangka teori yang kuat dan baik, sebab hanya dengan dasar teori yang kuatlah dapat menjawab pertanyaan dari bahan-bahan yang dikumpulkan. Banyak pertanyaan yang relevan mengenai struktur, variasi, resepsi, dan fungsi tidak terjawab, bahkan belum tertangani oleh para peneliti seperti Adriani, Van der Veen, dan Middelkoop, sebab mereka kurang kerangka dan minat teori tidak ada.

Penelitian terhadap sastra lisan di Melayu (Kelantan dan Trengganu) dilakukan oleh Amin Sweeney. Dia menyimpulkan bahwa tukang cerita Melayu sungguh-sungguh seorang profesional, yang membawakan ceritannya dengan lagu yang biasanya milik dia sendiri; setiap tukang cerita memiliki sejumlah lagu, masing-masing untuk cerita tertentu, dan selalu ada interaksi antara lagu dengan pemakaian bahasa.

Puisi Roti diteliti oleh Fox. Dia memakai cara dan struktur berbeda. Fox antara lai membicarakan jenis puisi yang disebut bini, puisi keagamaan tertetu; ciri khas puisi ini adalah pemakaian dyadic sets, pasangan kata yang wajib dipakai dan yang menunjukkan kesejajaran semantik tertentu. Misalnya, kata untuk kambing jantan berpasangan dengan kata ayam jantan, kata jenggot kambing jantan itu berpasangan dengan bulu ekor ayam jantan; matahari berpasangan dengan bulan, mata dengan hidung. Demikian juga dengan kara kerja dan kata sifat sering mempunyai pasangan tetap; dalam puisi bini selalu harus ada kesejajaran antara dua baris dalam arti bahwa setiap kalimat yang mengandung kata yang ada pasangannya harus diberi kalimat atau larik sejajar dengan memakai pasangan kata itu. Nama orang dan nama tempat pun seringkali mempunyai pasangannya.

Orang Roti juga memasukkan perbedaan dialek bahasanya dalam kosa dyadic sets tersebut, dan dengan demikian terciptalah semacam persatuan bahasa Roti sebagai alat komunikasi puisi, yang sering bersifat mitos, yang mengatasi keterpecah-belahan dialek dan sub-suku. Fox juga memperlihatkan bahwa puisi Roti tidak hanya berisi sebuah sistem klasifikasi kosa kata, yang mengarahkan daya ciptanya, tetapi sistem klasifikasi kosa kata mempunyai implikasi untuk struktur sosial dan konsepsi dunia orang Roti yang sangat menarik. Puisi adalah sarana atau pun ideologi yang mempersatukan masyarakat Roti. Puisi Roti adalah contoh yang sangat baik terhadap keterkaitan dan fungsi puisi dalam kehidupan kemasyarakatan yang lebih luas; dan studi Fox berhasil mengungkapkan secara gilang-gemilang kekhasan struktur puisi Roti berkat kerangka teori yang dipakai, digabung dengan daya observasi yang sangat kuat dan halus. Hal ini memperlihatkan satu kasus lagi tentang bhineka tunggal ika: berdasarkan pola dasar yang sama berkembanglah kekayaan variasi yang masing-masing ada ciri khasnya.

8. Beberapa Kesimpulan Umum

K

esimpulan umum yang bisa diperoleh dari uraian tentang tempat penelitian sastra lisan dalam rangka teori sastra yang menyeluruh dan bersifat semiotik adalah

a. Masalah kesastraan dapat kita telusuri dengan sangat baik berdasarkan sastra lisan, dari bentuk yang paling sederhana seperti dalam cerita rakyat tertentu sampai yang sangat njlimet, dengan persyaratan puitik yang kompleks. Konsepsi mengenai apakah struktur karya sastra dapat kita cerahkan atas dasar hasil penelitian sastra rakyat. Khususnya hubungan antara konvensi sastra dan struktur sastra individual dapat kita jelasi lewat struktur puisi rakyat; hubungan ini sering sangat rumit sifatnya, seperti ternyata dari puisi guslar dan juga dari puisi Roti.

b. Tidak kurang pentinglah variasi sebagai aspek hakiki karya sastra; masalah-masalah tekstologi dari segi korupsi dan kreasi sering dalam penelitian sastra rakyat menjadi lebih jelas, juga dari segi fungsi variasi.

c. Proses penciptaan sastra, dan efek daya cipta seorang penggubah sastra rakyat dapat kita telusuri dari dekat. Cara dia memanfaatkan persediaan sarana bahasa dan konvensi sastra serta mempermainkan pembatasannya dapat kita perhatikan in situ.

d. Demikian pula dalam sastra lisan resepsi masyarakat dan pengaruh timbal balik antara penciptaan dan sambutan dapat diperhatikan dengan cukup intensif dan langsung; sebab sastra oral memang masih berfungsi sebagai sarana komunikasi langsung, tidak ditunda dan ditaklangsungkan oleh kemungkinan tulisan.

e. Fungsi sastra dalam masyarakat sering masih lebih wajar dan langsung terbuka untuk penelitian ilmiah. Khususnya masalah hubungan antara fungsi estetik dan fungsi lain (agama, sosial) dalam variasi dan keragamannya dapat kita amati dari dekat dengan dominan tidaknya fungsi estetik; demikian pula kemungkinan perbedaan fungsi untuk golongan kemasyarakatan tertentu.

9. Beberapa Kesimpulan Khusus untuk Teori Sastra Indonesia

D

i samping aspek-aspek umum, perlu disampaikan kesimpulan khusus berkaitan dengan situasi sastra lisan dalam lingkungan sastra se-Indonesia:

a. Pertama-tama harus ditekankan bahwa baik dari segi sejarah maupun dari segi tipologi sastra tidak baik diadakan pembedaan antara sastra tulis dan sastra lisan. Justru persamaan hakiki dapat dilihat antara karya yang nampaknya jauh berbeda memerlukan perhatian dalam rangka satra Indonesia. Rasser telah menunjukkan tersebar luasnya motif Panji dalam sastra Indonesia, baik tulis dan bernilai sastra “tinggi” menurut pandangan tradisional, maupun lisan yang bersifat sederhana. Ini bukan satu-satunya contoh. Fox juga menunjukkan persamaan struktur antara cerita genealogik lisan di Roti dengan teks tulis seperti Sejarah Melayu, Pararaton, dan babad di Jawa dan Bali. Juga dalam hal cerita rakyat, misalnya cerita hewan kita melihat di Indonesia simbiosis, baik secara historik maupun tipologik, antara cerita rakyat Indonesia asli dengan sastra tulis dari India seperti Pancatantra. Singkatnya, sastra se-Indonesia dari berbagai segi harus dipandang sebagai satu kesatuan dan keseluruhan yang lebih baik jangan dipecahbelakan dulu, berdasarkan pertentangan yang tidak hakiki antara sastra tulis dan sastra lisan.

b. Aspek kedua yang perlu dikemukakan di sini adalah prinsip variasi sebagai prinsip sastra lisan, yang bukan tak ada relevansinya untuk sastra tulis di Indonesia. Dalam filologi Indonesia sudah lama diketahui orang bahwa tradisi penurunan naskah seringkali memperlihatkan variasi ynag sangat besar sekali, baik dari pemakaian bahasa maupun dari penambahan atau pengurangan anasir tertentu. Tekstologi sastra Indonesia dapat mengambil manfaat dari perbandingan dengan situasi sastra lisan, dan tidak hanya di bidang naskah saja: bahkan dalam tekstologi buku kita melihat gejala yang sama: penyunting, penyadur ataupun tukang set merasa bebas untuk menyesuaikan babonnya dengan perkembangan bahasa dan gaya sastra, keadaan politik dan lain-lain.

c. Dalam hubungan ini perlu juga disampaikan kaitan antara sastra lisan dan tulis dalam fungsi sastra sebagai performing art: sastra tulis pun berfungsi dalam situasi sosial yang disebut ramai ataupun guyub; karya sastra yang tertulis pun secara normal dibacakan bersama; dengan segala konsekuensi teknik, struktur, dan fungsinya. Penelitian sastra yang tidak memperhitungkan situasi ini mungkin sekali akan keliru dalam pemahanan sastra tulis yang baik. Partini Sardjono menunjukkan perubahan interpretasi sistem matra Jawa Kuno seperti diadakan dalam masyarakat kebudayaan Bali. Tapi interaksi ini tidak hanya penting dari segi matra dan lagu, dari segi fungsi sastra pembawaan dan pembacaannya sebagai performing art menjadikan perlu penggabungan aspek dan tulis dalam penelitian banyak ragam sastra di seluruh Indonesia. Tipe-tipe sastra naratif yang disajikan di sini tidak saling memustahilkan dan keragaman penyesuaian yang luas adalah mungkin antara A, B, dan C; cerita sastra tulis diceritakan kembali dalam wacana sehari-hari (B àA); cerita sastra itu pun disesuaikan dengan wujud lisan yang formal, misalnya cerita Panji tulis disajikan dalam wayang Jawa (B à C). Cerita dalam bentuk bergaya formal lisan dapat diceritakan kembali menjadi dalam bahasa sehari-hari (C àA) atau dipindahkan menjadi sastra tulis.

d. Akhirnya perlu diulang, sebagai kesimpulan yang penting, bahwa penggabungan sastra tulis dan sastra lisan dalam satu kerangka teori tidak hanya penting bagi sastra tradisional atau lama tetapi juga sastra Indonesia modern sebagai performing art. Banyak ragam tonil modern yang tidak diciptakan berdasarkan skrip, teks lengkap yang sebelumnya diselesaikan, tetapi sangat menonjolkan aspek improvisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Cavallaro, Dani. Critical and Cultural Theory. Teori kritis dan Teori Budaya. (Terjemahan: Laily Rahmawati). Yogyakarta: Niagara.

Santosa, Puji.1993.Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa.

Saussure, Ferdinand de. 1988. Pengantar Linguistik Umum. (Penerjemah:Rahayu S. Hidayat). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gra
media.

-----------. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sabtu, 12 April 2008

STUDI SASTRA LISAN

STUDI SASTRA LISAN

DALAM RANGKA SEMIOTIK SATRA

Oleh Edi Sutopo

1. Posisi Sastra Lisan dalam Kerangka Teori Sastra Umum

A

Teeuw dalam buku ini menjelaskan mengapa memasukan analisis sastra lisan dalam pembahasan tersendiri.

a. Dalam situasi komunikasi sastra ada perbedaan yang cukup menonjol antara sastra lisan dan sastra tulis; sastra tulis tidak memerlukan komunikasi langsung antara pencipta dengan penikmat; berkat kemungkinan teknologi cetak mutakhir. Namun, perlu dipertanyakan apa efek semiotik dari situasi tersebut bagi pencipta dan penikmat?

b. Biasanya penelitian terhadap sastra lisan berbeda dengan sastra tulis. A Teeuw mempertanyakan apakah bisa bisa diintegrasikan dari segi teori dan pendekatan ilmiah antara sastra lisan dan tulis.

c. Posisi sastra lisan di Indonesia yang sangat kokoh dan terpelihara dengan baik. Pertanyaannya, apakah kerangka teori sastra sastra tulis dengan demikian dapat serta merta dipakai untuk sastra lisan, atau perlu teori sastra lisan tersendiri yang lebih khas?

d. Ada transposisi antara sastra lisan dan sastra tulis. Sastra tulis sering ditampilkan dalam wujud performing art, atau dibacakan di depan umum. Di sisi lain, sastra lisan juga telah dibukukan. Dengan demikian, untuk penelitian sastra tulis, pengetahuan tentang struktur dan fungsi sastra lisan amat diperlukan.

2. Minat untuk Sastra Lisan di Eropa

A

Teuuw menyebut minat yang besar dari bangsa Eropa terhadap penelitian sastra lisan mulai abad ke-18. Pada zaman itu muncul dari para pencinta sastra keinginan untuk mulai menemukan, mengumpulkan dan meneliti sastra lisan yang dianggap primitif, baik di Eropa sendiri maupun negeri-negeri yang jauh. Dan di sisi lain, penyair Barat sendiri mulai menciptakan karya yang meneladani sastra lisan yang primitif itu dalam wujud balad yang pada awal abad ke-19 amat populer.

Dalam hubungan itu, filsuf Jerman Johann Gottfried Herder (1744-1803) mencoba meletakkan dasar ilmiah baru untuk pendekatan terhadap sastra dengan tulisan mengenai asal-usul bahasa dan tulisan. Bagi Herder, asal-usul bahasa dan asal-usul puisi identik: manusia primitif, purba, mulai belajar berbahasa lewat kesan-kesan yang diterima dari luar dirinya, dalam bentuk bunyi-bunyi yang secara spontan membayangkan impresi yang diterimanya itu.

Herder juga mengembangkan teori mengenai rakyat sebagai dasar kebudayaan yang sungguh-sungguh: berdasarkan bahasa yang sama setiap masyarakat bahasa, yang disebut Volk dalam bahasa Jerman, mempunyai semacam semangat, jenius bersama, dan semangat bangsa yang sekaligus menjadi rakyat itulah pula yang terungkap dalam sastra primitif, pratulis. Ide tentang kebersamaan masyarakat tergantikan oleh ide Herder tentang identitas bangsa dengan semangatnya, volksgeist. Volksgeist itu khususnya terungkap dalam puisi dan cerita rakyat lisan, dan justru bentuk sastra inilah yang dikumpulkan dan diterbitkan sebagai bentuk sastra yang hakiki dan sungguh-sunguh. Herder juga mengungkapkan awal mula semangat nasionalisme yang dalam abad ke-19 menjadi sangat populer di Eropa dan di Jerman pada awal abad ke-20.

3. Minat untuk Sastra Lisan di Indonesia; Sedikit Sejarahnya.

A

wal abad ke-19 adalah masa pengumpulan sastra lisan berkat kegiatan para penerjemah Kitab Injil yang sejak awal abad ke-19 diutus ke Hindia Belanda oleh Lembaga Alkitab Belanda dengan tugas utama menerjemahkan Kitab Injil dalam berbagai bahasa Nusantara, tetapi mereka selalu ditugaskan pula sebagai persiapan untuk tugas utama tersebut, untuk secarera ilmiah meneliti bahasa dan kesussatraan suku bangsa tempat mereka bekerja.

Kebanyakan peneliti Belanda dan asing yang meneliti sastra lisan Nusantara tadi besar sekali jasanya dari segi pengumpulan dan penerjemahan bahan-bahan sastra lisan, tetapi umumnya mereka tidak banyak berminat untuk aspek-aspek teori sastra yang berkaitan dengan sastra rakyat; mereka lebih tertarik pada segi ilmu atau deskripsi bahasa, khususnya berkaitan dengan posisi mereka sebagai penerjemah Kitab Injil; sebab mereka melihat ada persamaan atau kesejajaran antara bahasa dalam sastra rakyat Indonesia dengan bahasa puisi Ibrani yang dipakai dalam Perjanjian Lama. Atau mereka lebih tertarik oleh aspek antropologi, khususnya antropologi keagamaan yang berkaitan dengan sastra rakyat, khususnya yang bersifat mitos. (Mitos sebagai pembayangan struktur sosial).

4. Perkembangan Penelitian Sastra Selanjutnya; Mazhab Finlandia

P

enyelidikan sastra lisan di Eropa awalnya didasari oleh minat terhadap ilmu kemanusiaan lebih khusus ilmu bahasa dan sastra yang berorientasi pada sejarah dan bandingan. Sastra rakyat Eropa dibandingkan dengan sastra rakyat di bagian dunia yang lain. Di sinilah mulai berkembang metode dan teori historik komparatif secara sistemik, terutama di Finlandia. Mazhab ini dengan keyakinan terhadap metodenya, berobsesi untuk menjangkau semua cerita rakyat di seluruh dunia. Masalah yang dihadapai ketika akan melakukan klasifikasi dan organisasi bahan adalah justru dari melimpahnya bahan baku. Mungkinkan melakukan klasifikasi dan penggolongan atasnya?

Pada praktiknya, mazhab ini memakai dua konsep yaitu type dan motif; jadi cerita digolongkan menurut tipenya; sedangkan motif didefinisikan sebagai anasir terkecil dalam sebuah cerita yang mempunyai daya tahan dalam tradisi. Penelitian oleh mazhab Finlandia ini banyak sekali menghasilkan studi yang sangat menarik dan sangat memajukan pengetahuan tetapi pada saat yang sama juga mempunyai kelemahan. Praktiknya, penggolongan dalam tipe dan motif sangat sulit lagi pula kesimpulan mengenai tua-mudanya, dan asli tidaknya varian tertentu sukar dibuktikan.

Pertanyaan tentang di mana pendekatan mazhab historik-geografik harus ditempatkan dalam rangka model semiotik karya sastra, maka jawabnya jelas terletak pada minat utama yang terarah pada penciptaan, asal-usul cerita rakyat, sesuai dengan pendekatan sejarah yang umum berlaku dalam ilmu sastra sejak abad ke-19. Perbedaannya, umumnya penulis tidak diketahui, anonim. Dalam mazhab ini umumnya cerita rakyat tidak dilihat lagi sebagai tanda; makna karya sastra ini tidak menarik minat mereka, dan karya sastra dipecah-pecah dalam sejumlah motif tanpa fungsi dan makna.

5. Penelitian Propp mengenai Dongeng Rusia

P

endekatan yang dipakai mazhab historik-geografik mendapat kritik dari peneliti Rusia yang bernama Vladimir Propp. Dia berusaha untuk menemukan aturan yang menguasai atau menentukan susunan plot dalam sejumlah dongeng Rusia yang khas. Kritik Propp terhadap Mazhab Finlandia terutama menyangkut atomistik analitis tema dan motif. Propp tidak berusaha menjangkau seluruh cerita rakyat sedunia, tetapi berdasarkan seratus dongeng Rusia yang disebut fairy tales Propp berhasil menemukan hasil yang cukup mengejutkan, yaitu:

a. Anasir yang mantap dan tidak berubah dalam sebuah dongeng bukanlah tokoh atau motifnya melainkan fungsi, lepas dari siapa tokoh yang memenuhi fungsi tersebut.

b. Untuk fairy tale jumlah fungsi terbatas

c. Urutan fungsi dalam sebuah dongeng selalu sama

d. Dari segi struktur semua dongeng mewakili hanya satu tipe saja.

Propp mendefinisikan fungsi sebagai “tindakan seorang tokoh yang dibatasi dari segi maknanya untuk jalan lakonnya”.

Sebagai contoh:

I seorang anggota meninggalkan rumah (entah siapa orangnya: orang tua, raja, adik, dan lain-lain)

II tokoh utama atau pahlawan terkena larangan atau pantangan tertentu (misalnya tidak boleh bicara lagi, tidak boleh meninggalkan rumah, tidak boleh memetik bunga atau buah tertentu dan seterusnya)

III tabu itu dilanggar.

Jadi Propp mengembangkan semacam skema yang selalu sama dan berlaku umum namun tidak berarti bahwa setiap dongeng harus memiliki semua fungsi; ada juga dongeng yang mempunyai fungsi terbatas daripada maksimal yang menurut Propp ada 31 fungsi.

Perlu disampaikan bahwa analisis dan tipologi struktural bagi Propp bukan tujuan utama dan akhir. Dia hanya ingin memanfaatkan tipologi struktural untuk penelitian historik pula; berdasarkan analisis struktur dasar, dia berharap dapat menentukan bentuk purba dongeng tersebut (meskipun telah berkembang ke berbagai arah, tokoh dan peristiwa yang bermacam-macam, tetapi mempertahankan kerangka struktur dan fungsi yang sama). Jadi Propp ingin menggabungkan metode struktural dengan penelitian genetik, penelusuran asal-usul dan penyebaran kemudian.

Penelitian Propp ini mendapatkan respon cukup bagus di Eropa, namun tetap ada tentangan keras terutama dari peneliti Belanda J.P. Guĕpin. Menurutnya, konsep fungsi menjadi ruwet tidak dapat dibuktikan benar tidaknya dan seleksi oleh peneliti tidak dapat dicek lagi kebenarannya. Jadi, Propp tidak berhasil sungguh-sungguh membuktikan tesisnya yang terdiri atas empat dalil seperti tersebut.

Namun, jasa Propp tetap besar terutama gagasannya tentang analisis struktural tentang naratif cerita rakyat dan cerita lain; dan dia merintis jalan untuk analisis semacam itu. Sejak itu, masalah analisis struktural sebagai masalah hakiki untuk penelitian cerita rakyat tidak dapat lagi dihindari. Namun, perlu perbaikan seperti metodenya harus diperhalus, konsepnya harus dipikrkan kembali, hasilnya harus dicek terus-menerus dan disesuaikan dengan penemuan baru.

6. Penelitian Puisi Lisan: Parry dan Lord

P

enelitian lain dalam studi sastra lisan menyangkut puisi rakyat, dan tidak kurang pentingnya dari segi metode penelitian dan konsep teori umum yang dihasilkan. Pendekatan yang disampaikan di sini diilhami oleh ilmu sastra klasik barat, khususnya puisi Homeros. Seorang ahli bahasa Yunani Milman Parry dalam tulisan tahun tiga puluhan mencoba membuktikan bahwa karya Homeros memang memanfaatkan dan menggali tradisi oral sezaman dan pada saat yang sama menciptakan karya sastranya secara keseluruhan yang utuh dan sempurna.

Parry menemukan bahwa Homeros sebagai seorang penyanyi memang memanfaatkan persediaan formula yang menjadi modalnya, yang siap pakai sesuai dengan persyaratan matra yang dimanfaatkan untuk eposnya. Misalnya dia selalu memanfaatkan epitheton (kata sifat atau klausa yang berfungsi kata sifat) untuk memerikan seseorang atau suatu benda, keadaan dan lain-lain.

Misalnya:

Odysseus biasanya disebut polutlas atau polumetis (yang banyak menderita/banyak akalnya.

Achilles disebut poodas ookus (cepat kaki)

Parry meneliti di Yugoslavia dan banyak menemui cukup banyak penyanyi epos rakyat. Di sana mereka meneliti puluhan contoh epos rakyat seperti yang dinyanyikan oleh tukang cerita; meneliti teknik penciptaan epos rakyat dan cara tradisi ini diturunkan dari guru ke murid, dan mereka memberi perhatian pula pada resepsi karya sastra oleh masyarakat, yaitu audience yang menghadiri performance.

Beberapa kesimpulan penting dari penelitian Parry tentang epos Yugoslavia dapat disampaikan di sini:

a. Epos rakyat Yugoslavia oleh penyanyinya (guslar) tidak dihafalkan secara turun-temurun, tetapi setiap kali epos itu dibawakan teksnya diciptakan kembali secara spontan –dan dengan kecepatan yang sangat mengagumkan. Di dalam penciptaan itu teks disesuaikan dengan minat pendengar, keadaan pembawaannya, dan waktu yang disediakan.

b. Prestasi menciptakan karya yang panjang itu lebih mengherankan lagi kalau kita perhatikan bahwa skema matra yang harus dipakai cukup ketat, setiap larik harus terdiri atas sepuluh suku kata, dengan penggalan sesudah suku kata yang keempat, yang harus bertepatan pula dengan pemisahan kata.

c. Variasi adalah ciri khas puisi lisan; tidak ada wujud yang beku dan mantap; sastra lisan adalah sastra yang hidup, lincah, selalu diciptakan dan dihayati kembali sesuai dengan daya cipta pembawa dan penikmatnya.

7. Penelitian Modern tentang Sastra Rakyat di Indonesia: Fox, Sweeney

B

erdasarkan uraian di atas jelaslah kiranya mengapa penelitian sastra rakyat pun memerlukan kerangka teori yang kuat dan baik, sebab hanya dengan dasar teori yang kuatlah dapat menjawab pertanyaan dari bahan-bahan yang dikumpulkan. Banyak pertanyaan yang relevan mengenai struktur, variasi, resepsi, dan fungsi tidak terjawab, bahkan belum tertangani oleh para peneliti seperti Adriani, Van der Veen, dan Middelkoop, sebab mereka kurang kerangka dan minat teori tidak ada.

Penelitian terhadap sastra lisan di Melayu (Kelantan dan Trengganu) dilakukan oleh Amin Sweeney. Dia menyimpulkan bahwa tukang cerita Melayu sungguh-sungguh seorang profesional, yang membawakan ceritannya dengan lagu yang biasanya milik dia sendiri; setiap tukang cerita memiliki sejumlah lagu, masing-masing untuk cerita tertentu, dan selalu ada interaksi antara lagu dengan pemakaian bahasa.

Puisi Roti diteliti oleh Fox. Dia memakai cara dan struktur berbeda. Fox antara lai membicarakan jenis puisi yang disebut bini, puisi keagamaan tertetu; ciri khas puisi ini adalah pemakaian dyadic sets, pasangan kata yang wajib dipakai dan yang menunjukkan kesejajaran semantik tertentu. Misalnya, kata untuk kambing jantan berpasangan dengan kata ayam jantan, kata jenggot kambing jantan itu berpasangan dengan bulu ekor ayam jantan; matahari berpasangan dengan bulan, mata dengan hidung. Demikian juga dengan kara kerja dan kata sifat sering mempunyai pasangan tetap; dalam puisi bini selalu harus ada kesejajaran antara dua baris dalam arti bahwa setiap kalimat yang mengandung kata yang ada pasangannya harus diberi kalimat atau larik sejajar dengan memakai pasangan kata itu. Nama orang dan nama tempat pun seringkali mempunyai pasangannya.

Orang Roti juga memasukkan perbedaan dialek bahasanya dalam kosa dyadic sets tersebut, dan dengan demikian terciptalah semacam persatuan bahasa Roti sebagai alat komunikasi puisi, yang sering bersifat mitos, yang mengatasi keterpecah-belahan dialek dan sub-suku. Fox juga memperlihatkan bahwa puisi Roti tidak hanya berisi sebuah sistem klasifikasi kosa kata, yang mengarahkan daya ciptanya, tetapi sistem klasifikasi kosa kata mempunyai implikasi untuk struktur sosial dan konsepsi dunia orang Roti yang sangat menarik. Puisi adalah sarana atau pun ideologi yang mempersatukan masyarakat Roti. Puisi Roti adalah contoh yang sangat baik terhadap keterkaitan dan fungsi puisi dalam kehidupan kemasyarakatan yang lebih luas; dan studi Fox berhasil mengungkapkan secara gilang-gemilang kekhasan struktur puisi Roti berkat kerangka teori yang dipakai, digabung dengan daya observasi yang sangat kuat dan halus. Hal ini memperlihatkan satu kasus lagi tentang bhineka tunggal ika: berdasarkan pola dasar yang sama berkembanglah kekayaan variasi yang masing-masing ada ciri khasnya.

8. Beberapa Kesimpulan Umum

K

esimpulan umum yang bisa diperoleh dari uraian tentang tempat penelitian sastra lisan dalam rangka teori sastra yang menyeluruh dan bersifat semiotik adalah

a. Masalah kesastraan dapat kita telusuri dengan sangat baik berdasarkan sastra lisan, dari bentuk yang paling sederhana seperti dalam cerita rakyat tertentu sampai yang sangat njlimet, dengan persyaratan puitik yang kompleks. Konsepsi mengenai apakah struktur karya sastra dapat kita cerahkan atas dasar hasil penelitian sastra rakyat. Khususnya hubungan antara konvensi sastra dan struktur sastra individual dapat kita jelasi lewat struktur puisi rakyat; hubungan ini sering sangat rumit sifatnya, seperti ternyata dari puisi guslar dan juga dari puisi Roti.

b. Tidak kurang pentinglah variasi sebagai aspek hakiki karya sastra; masalah-masalah tekstologi dari segi korupsi dan kreasi sering dalam penelitian sastra rakyat menjadi lebih jelas, juga dari segi fungsi variasi.

c. Proses penciptaan sastra, dan efek daya cipta seorang penggubah sastra rakyat dapat kita telusuri dari dekat. Cara dia memanfaatkan persediaan sarana bahasa dan konvensi sastra serta mempermainkan pembatasannya dapat kita perhatikan in situ.

d. Demikian pula dalam sastra lisan resepsi masyarakat dan pengaruh timbal balik antara penciptaan dan sambutan dapat diperhatikan dengan cukup intensif dan langsung; sebab sastra oral memang masih berfungsi sebagai sarana komunikasi langsung, tidak ditunda dan ditaklangsungkan oleh kemungkinan tulisan.

e. Fungsi sastra dalam masyarakat sering masih lebih wajar dan langsung terbuka untuk penelitian ilmiah. Khususnya masalah hubungan antara fungsi estetik dan fungsi lain (agama, sosial) dalam variasi dan keragamannya dapat kita amati dari dekat dengan dominan tidaknya fungsi estetik; demikian pula kemungkinan perbedaan fungsi untuk golongan kemasyarakatan tertentu.

9. Beberapa Kesimpulan Khusus untuk Teori Sastra Indonesia

D

i samping aspek-aspek umum, perlu disampaikan kesimpulan khusus berkaitan dengan situasi sastra lisan dalam lingkungan sastra se-Indonesia:

a. Pertama-tama harus ditekankan bahwa baik dari segi sejarah maupun dari segi tipologi sastra tidak baik diadakan pembedaan antara sastra tulis dan sastra lisan. Justru persamaan hakiki dapat dilihat antara karya yang nampaknya jauh berbeda memerlukan perhatian dalam rangka satra Indonesia. Rasser telah menunjukkan tersebar luasnya motif Panji dalam sastra Indonesia, baik tulis dan bernilai sastra “tinggi” menurut pandangan tradisional, maupun lisan yang bersifat sederhana. Ini bukan satu-satunya contoh. Fox juga menunjukkan persamaan struktur antara cerita genealogik lisan di Roti dengan teks tulis seperti Sejarah Melayu, Pararaton, dan babad di Jawa dan Bali. Juga dalam hal cerita rakyat, misalnya cerita hewan kita melihat di Indonesia simbiosis, baik secara historik maupun tipologik, antara cerita rakyat Indonesia asli dengan sastra tulis dari India seperti Pancatantra. Singkatnya, sastra se-Indonesia dari berbagai segi harus dipandang sebagai satu kesatuan dan keseluruhan yang lebih baik jangan dipecahbelakan dulu, berdasarkan pertentangan yang tidak hakiki antara sastra tulis dan sastra lisan.

b. Aspek kedua yang perlu dikemukakan di sini adalah prinsip variasi sebagai prinsip sastra lisan, yang bukan tak ada relevansinya untuk sastra tulis di Indonesia. Dalam filologi Indonesia sudah lama diketahui orang bahwa tradisi penurunan naskah seringkali memperlihatkan variasi ynag sangat besar sekali, baik dari pemakaian bahasa maupun dari penambahan atau pengurangan anasir tertentu. Tekstologi sastra Indonesia dapat mengambil manfaat dari perbandingan dengan situasi sastra lisan, dan tidak hanya di bidang naskah saja: bahkan dalam tekstologi buku kita melihat gejala yang sama: penyunting, penyadur ataupun tukang set merasa bebas untuk menyesuaikan babonnya dengan perkembangan bahasa dan gaya sastra, keadaan politik dan lain-lain.

c. Dalam hubungan ini perlu juga disampaikan kaitan antara sastra lisan dan tulis dalam fungsi sastra sebagai performing art: sastra tulis pun berfungsi dalam situasi sosial yang disebut ramai ataupun guyub; karya sastra yang tertulis pun secara normal dibacakan bersama; dengan segala konsekuensi teknik, struktur, dan fungsinya. Penelitian sastra yang tidak memperhitungkan situasi ini mungkin sekali akan keliru dalam pemahanan sastra tulis yang baik. Partini Sardjono menunjukkan perubahan interpretasi sistem matra Jawa Kuno seperti diadakan dalam masyarakat kebudayaan Bali. Tapi interaksi ini tidak hanya penting dari segi matra dan lagu, dari segi fungsi sastra pembawaan dan pembacaannya sebagai performing art menjadikan perlu penggabungan aspek dan tulis dalam penelitian banyak ragam sastra di seluruh Indonesia. Tipe-tipe sastra naratif yang disajikan di sini tidak saling memustahilkan dan keragaman penyesuaian yang luas adalah mungkin antara A, B, dan C; cerita sastra tulis diceritakan kembali dalam wacana sehari-hari (B àA); cerita sastra itu pun disesuaikan dengan wujud lisan yang formal, misalnya cerita Panji tulis disajikan dalam wayang Jawa (B à C). Cerita dalam bentuk bergaya formal lisan dapat diceritakan kembali menjadi dalam bahasa sehari-hari (C àA) atau dipindahkan menjadi sastra tulis.

d. Akhirnya perlu diulang, sebagai kesimpulan yang penting, bahwa penggabungan sastra tulis dan sastra lisan dalam satu kerangka teori tidak hanya penting bagi sastra tradisional atau lama tetapi juga sastra Indonesia modern sebagai performing art. Banyak ragam tonil modern yang tidak diciptakan berdasarkan skrip, teks lengkap yang sebelumnya diselesaikan, tetapi sangat menonjolkan aspek improvisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Cavallaro, Dani. Critical and Cultural Theory. Teori kritis dan Teori Budaya. (Terjemahan: Laily Rahmawati). Yogyakarta: Niagara.

Santosa, Puji.1993.Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa.

Saussure, Ferdinand de. 1988. Pengantar Linguistik Umum. (Penerjemah:Rahayu S. Hidayat). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gra
media.

-----------. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

SEMIOTIKA

APLIKASI SEMIOTIKA KOMUNIKASI

Juni 7th, 2007

Ada sejumlah bidang terapan semiotika. Pada prinsipnya jumlah bidang terapan semiotika tidaklah terbatas. Bidang semiotika ini sendiri bisa berupa proses komunikatif yang tampak lebih alamiah dan spontan hingga pada sistem budaya yang lebih kompleks.

19 bidang yang bisa dipertimbangkan sebagai bahan kajian ilmiah Semiotika menurut Eco (1979:9-14), antara lain :

1. Semiotika binatang (zoomsemiotic)

2. Tanda – tanda bauan (olfactory signs)

3. Komunikasi rabaan (tactile communication)

4. Kode – kode cecapan (code of taste)

5. Paralinguistik (paralinguistics)

6. Semiotika medis (medical semiotics)

7. Kinesik dan proksemik (kinesics and proxemics)

8. Kode – kode musik (musical codes)

9. Bahasa – bahasa yang diformalkan (formalized languages)

10. Bahasa tertulis, alfabet tidak dikenal, kode rahasia (written languages, unknown alphabets, secret codes)

11. Bahasa alam (natural languages)

12. Komunikasi visual (visual communication)

13. Sistem objek (system of objects)

14. Struktur alur (plot structure)

15. Teori teks (text theory)1

16. Kode – kode budaya (culture codes)

17. Teks estetik (aesthetic texts)

18. Komunikasi Massa (mass comunication)

19. Retorika (rhetoric)

Pada komunikasi, bidang terapan semiotika pun tidak terbatas. Adapun beberapa contoh aplikasi semiotika di antara sekian banyak pilihan kajian semiotika dalam domain komunikasi antara lain :

1. MEDIA

Mempelajari media adalah adalah mempelajari makna dari mana asalnya, seperti apa, seberapa jauh tujuannya, bagaimanakah ia memasuki materi media, dan bagaimana ia berkaitan dengan pemikiran kita sendiri.

Dalam konteks media massa, khusunya media cetak kajian semiotika adalah mengusut ideologi yang melatari pemberitaan.

Untuk teknik – teknik analisnya sendiri, secara garis besar yang diterapkan adalah :

1. Teknik kuantitatif

Teknik ini adalah teknik yang paling dapat mengatasi kekurangan dalam objektivitas, namun hasilnya sering kurang mantap. Ciri – ciri yang dapat di ukur dinyatakan sebagai tanda merupakan titik tolak penelitian ini.

Menurut Van Zoest, 19993:146-147), hasil analisis kuantitatif selalu lebih spektakuler namun sekaligus selalu mengorbankan ketahanan uji metode – metode yang digunakan.

1. Teknik kualitatif

Pada analisis kualitatif, data – data yang diteliti tidak dapat diukur secara matematis. Analisis ini sering menyerang masalah yang berkaitan dengan arti atau arti tambahan dari istilah yang digunakan.

Tiga pendekatan untuk menjelaskan media (McNair, 1994, dalam Sudibyo, 2001:2-4)

1. Pendekatan Politik-Ekonomi

Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan – kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media.

2. Pendekatan Organisasi

Bertolak belakang dengan pendekatan politik-ekonomi, pendekatan ini menekankan bahwa isi media diasumsikan dipengaruhi oleh kekuatan – kekuatan eksternal di luar diri pengelola media.

3. Pendekatan Kulturalis

Merupakan pendekatan politik-ekonomi dan pendekatan organisasi. Proses produksi berita dilihat sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media. Media pada dasarnya memang mempunyai mekanisme untuk menentukan pola dan aturan oragnisasi, tapi berbagai pola yang dipakai untuk memaknai peristiwa tersebut tidak dapat dilepaskan dari kekuatan – kekuatan politik-ekonomi di luar media.

Secara teoritis, media massa bertujuan menyampaikan informasi dengan benar secara efektif dan efisien. Namun, pada praktiknya apa yang disebut sebagai kebenaran ini sangat ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan.

Terdapat pemilahan atas fakta atau informasi yang dianggap penting dan yang dianggap tidak penting, serta yang dianggap penting namun demi kepentingan survival menjadi tidak perlu disebar luaskan. Media menyunting bahkan menggunting realitas dan kemudian memolesnya menjadi suatu kemasan yang layak disebar luaskan.

Tiga zona dalam teori media menurut Berger dan Luckman :

1. Orders and practices of signification = Tatanan dan praktik – praktik signifikasi.

2. Orders and practises of power = Tatanan dan praktik – praktik kekuasaan.

3. Orders and practises of production = Tatanan dan praktik – praktik produksi.

Praktik – praktik kekuasaan media memiliki banyak bentuk ( John B. Thomson, 1994) antara lain:

· Kekuasaan Ekonomi —— dilembagakan dalam industri dan perdagangan.

· Kekuasaan Politik ——— dilembagakan dalam aparatur negara

· Kekuasaan Koersif ——– dilembagakan dalam organisasi militer dan paramiliter.

2. PERIKLANAN

Dalam perspektif semiotika iklan dikaji lewat sistem tanda dalam iklan, yang terdiri atas 2 lambang yakni lambang verbal (bahasa) dan lambang non verbal (bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan).

Dalam menganalisis iklan, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain (Berger) :

· Penanda dan petanda

· Gambar, indeks, simbol

· Fenomena sosiologi

· Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk

· Desain dari iklan

· Publikasi yang ditemukan dalam iklan dan khayalan yang diharapkan oleh publikasi tersebut.

Lain halnya dengan model Roland Barthes, iklan dianalisis berdasarkan pesan yang dikandungnya yaitu :

·

o Pesan Linguistik ————————– Semua kata dan kalimat dalam iklan

o Pesan yang terkodekan —————— Konotasi yang muncul dalam foto iklan

o Pesan ikonik yang tak terkodekan —– Denotasi dalam foto iklan

3. TANDA NONVERBAL

Komunikasi nonverbal adalah semua tanda yang bukan kata – kata dan bahasa.

Tanda – tanda digolongkan dalam berbagai cara :

· Tanda yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui manusia melalui pengalamannya.

· Tanda yang ditimbulkan oleh binatang

· Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, bersifat verbal dan nonverbal.

Namun tidak keseluruhan tanda – tanda nonverbal memiliki makna yang universal. Hal ini dikarenakan tanda – tanda nonverbal memiliki arti yang berbeda bagi setiap budaya yang lain.

Dalam hal pengaplikasian semiotika pada tanda nonverbal, yang penting untuk diperhatikan adalah pemahaman tentang bidang nonverbal yang berkaitan dengan benda konkret, nyata, dan dapat dibuktikan melalui indera manusia.

Pada dasarnya, aplikasi atau penerapan semiotika pada tanda nonverbal bertujuan untuk mencari dan menemukan makna yang terdapat pada benda – benda atau sesuatu yang bersifat nonverbal. Dalam pencarian makna tersebut, menurut Budianto, ada beberapa hal atau beberapa langkah yang perlu diperhatikan peneliti, antara lain :

· Langkah Pertama ——- Melakukan survai lapangan untuk mencari dan menemukan objek penelitian yang sesuai dengan keinginan si peneliti.

· Langkah Kedua ———- Melakukan pertimbangan terminologis terhadap konsep –konsep pada tanda nonverbal.

· Langkah Ketiga ———- Memperhatikan perilaku nonverbal, tanda dan komunikasi terhadap objek yang ditelitinya.

· Langkah Keempat —– Merupakan langkah terpenting —– menentukan model semiotika yang dipilih untuk digunakan dalam penelitian. Tujuan digunakannya model tertentu adalah pembenaran secara metodologis agar keabsahan atau objektivitas penelitian tersebut dapat terjaga.

4. FILM

Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika.

Van Zoest—– film dibangun dengan tanda semata – mata. Pada film digunakan tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tanda yang menggambarkan sesuatu. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya.

Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Yang paling penting dalam film adalah gambar and suara. Film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya sendiri yakni, mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan pertunjukannya dengan proyektor dan layar.

Sardar & Loon ——– Film dan televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk – bentuk simbol visual dan linguistik untuk mengkodekan pesan yang sedang disampaikan.

Figur utama dalam pemikiran semiotika sinematografi hingga sekarang adalah Christian Metz dari Ecole des Hautes Etudes et Sciences Sociales (EHESS) Paris. Menurutnya, penanda (signifant) sinematografis memiliki hubungan motivasi atau beralasan dengan penanda yang tampak jelas melalui hubungan penanda dengan alam yang dirujuk. Penanda sinematografis selalu kurang lebih beralasan dan tidak pernah semena.

5. KOMIK-KARTUN-KARIKATUR

Sebelum memasuki pembahasan, terlebih dahulu kita ketahui apa yang dimaksud dengan komik, kartun, serta karikatur.

Komik adalah cerita bergambar dalam majalah, surat kabar, atau berbentuk buku yang pada umumnya mudah dicerna dan lucu. Komik sendiri dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu, comic strips dan comic book. Komik bertujuan utama menghibur pembaca dengan bacaan ringan, cerita rekaan yang dilukiskan relatif panjang dan tidak selamanya mengangkat masalah hangat meskipun menyampaikan moral tertentu. Bahasa komik adalah bahasa gambar dan bahasa teks.

Kartun adalah sebuah gambar lelucon yang muncul di media massa, yang hanya berisikan humor semata, tanpa membawa beban kritik sosial apapun. Pada dasarnya, kartun mengungkapkan masalah sesaat secara ringkas namun tajam dan humoristis sehingga tidak jarang membuat pembaca senyum sendirian.

Karikatur adalah deformasi berlebihan atas wajah seseorang, biasanya orang terkenal, dengan mempercantiknya dengan penggambaran ciri khas lahiriyahnya untuk tujuan mengejek (Sudarta,1987). Empat teknis yang harus diingat sebagai karikatur adalah, harus informatif dan komunikatif, harus situasional dengan pengungkapan yang hangat, cukup memuat kandungan humor, harus mempunyai gambar yang baik. Semula karikatur hanya merupakan selingan atau ilustrasi belaka. Namun pada perkembangannya, karikatur dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik yang sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar – gambar lucu dan menarik bahkan tidak jarang membuat orang yang dikritik justru tersenyum.

Tommy Christomy ——— Secara formal proses semiosis yang paling dominan dalam kartun adalah gabungan atau proposisi (visual dan verbal) yang dibentuk oleh kombinasi tanda argumen indexical legisign.

Untuk menganalisis kartun atau komik-kartun, seyogyanya kita menempatkan diri sebagai kritikus agar secara leluasa dapat melakukan penilaian dan memberi tafsiran terhadap komik-kartun tersebut.

Setiawan —— Komik-kartun penuh dengan perlambangan – perlambangan yang kaya akan makna. Selain dikaji sebagai teks, secara kontekstual juga dilakukan yakni dengan menghubungkan karya seni tersebut dengan situasi yang sedang menonjol di masyarakat. Dalam pandangan Setiawan hal ini di maksudkan untuk menjaga signifikasi permasalahan dan sekaligus menghindari pembiasan tafsiran.

6. SASTRA

Santosa —— Dalam lapangan sastra, karya sastra dengan keutuhannya secara semiotik dapat dipandang sebagai sebuah tanda. Sebagai suatu bentuk, karya sastra secara tulis akan memiliki sifat kerungan. Dimensi ruang dan waktu dalam sebuah cerita rekaan mengandung tabiat tanda-menanda yang menyiratkan makna semiotika.

Aminudin —— Wawasan semiotika dalam studi sastra memiliki tiga asumsi :

· Karya sastra merupakan gejala komunikasi yang berkaitan dengan pengarang, wujud sastra sebagai sistem tanda, dan pembaca.

· Karya sastra merupakan salah satu bentuk pengunaan sistem tanda (system of signs) yang memiliki struktur dalam tata tingkat tertentu.

· Karya sastra merupakan fakta yang harus direkonstruksikan pembaca sejalan dengan dunia pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya.

Sasaran kajian sastra secara ilmiah bukan pada wujud konkret wacananya, melainkan pada metadiscourse atau bentuk dan ciri kewacanaan yang tidak teramati secara konkret

Junus —– Pradopo —- Penelitian sastra dengan pendekatan semiotika sesungguhnya merupakan lanjutan dari pendekatan strukturalisme. Strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotika karena karya sastra merupakan struktur tanda – tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda dan maknanya, serta konvensi tanda, struktur karya sastra atau karya sastra tidak dapat dimengerti secara optimal.

Dalam penelitian sastra dengan menggunakan pendekatan semiotika, tanda yang berupa indekslah yang paling banyak dicari, yaitu berupa tanda – tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat.

Preminger ——- Studi semiotika sastra adalah usaha untuk menganalisis sistem tanda – tanda. Oleh karena itu, peneliti harus menentukan konvensi – konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna.

7. MUSIK

Sistem tanda musik adalah oditif. Bagi semiotikus musik, adanya tanda – tanda perantara, yakni, musik yang dicatat dalam partitur orkestra, merupakan jalan keluar. Hal ini sangat memudahkan dalam menganalisis karya musik sebagai teks. Itulah sebabnya mengapa penelitian musik semula terutama terarah pada sintaksis. Meski demikian, semiotika tidak dapat hidup hanya dengan mengandalkan sintaksis karena tidak ada semiotika tanpa semantik juga tidak ada semiotika musik tanpa semantik musik.

Aart van Zoest —– Tiga kemungkinan dalam mencari denotatum musik ke arah isi tanggapan dan perasaan :

· Untuk menganggap unsur – unsur struktur musik sebagai ikonis bagi gejala – gejala neurofisiologis pendengar,

· Untuk menganggap gejala – gejala struktural dalam musik sebagai ikonis bagi gejala – gejala struktural dunia penghayatan yang dikenal.

· Untuk mencari denotatum musik ke arah isi tanggapan dan perasaan yang dimunculkan musik lewat indeksial.

Untuk menganalisi musik tentu juga diperlukan disiplin lain, misalnya ethnomusicology dan antropologi. Dalam ethnomusicology, musik dipelajari melalui aturan tertentu yang dihubungkan dengan bentuk kesenian lainnya termasuk bahasa, agama, dan falsafah.

http://aaipoel.wordpress.com/2007/06/07/aplikasi-semiotika-komunikasi/

Semiotika Alquran yang Membebaskan

Oleh Mu’adz D’Fahmi

Kolom | 16/06/2002

Dengan pertimbangan bahwa al-Quran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf arab serta tersusun dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan media tempat carut- marutnya tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya menarik dan relevan digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan semiotika yang mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Quran.

Tafsir klasik konvensional seringkali dinilai hegemonik, mendominasi, anti-konteks, status-quois, mengkungkung kebebasan, dan bahkan menindas. Dengan tujuan untuk mencapai pemaknaan tunggal yang dianggap benar, para ulama menuntut model tafsir yang seragam. Akibatnya, tafsir menjadi asosial, ahumanis, terpusat pada teks, dan mengabaikan unsur-unsur di luar teks.

Saat ini, pergulatan dalam ranah kajian tafsir kontemporer menuntut adanya suatu model tafsir yang membebaskan. Tafsir yang tidak hanya didominasi oleh sebagian golongan tertentu, tetapi juga menampung aspirasi dan pendapat kelompok-kelompok yang selama ini tersubordinatkan. Ini dapat dilihat dari semakin maraknya kemunculan tafsir-tafsir yang menggunakan beragam pendekatan baru dengan bertujuan menggoyang kemapanan tafsir konvensional, seperti hermeneutika, pendekatan feminisme, teologi pembebasan, pendekatan sastra, pendekatan kontekstual, dan posmodernis.

Dengan pertimbangan bahwa al-Quran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf arab serta tersusun dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan media tempat carut- marutnya tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya menarik dan relevan digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan semiotika yang mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Quran.

Semiotika sebagai sebuah disiplin tentang tanda, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya, dapat digunakan untuk memahami tanda-tanda yang terdapat dalam al-Quran. Semiotika berbeda dengan hermeneutika—ilmu tentang kebenaran makna atau makna-makna tersembunyi di balik teks-teks yang secara literer tampak tidak memuaskan atau dianggap superfisial.

Pendekatan hermeneutika dalam tafsir al-Quran menuntut tiga fokus utama yang selalu dipertimbangkan, yaitu: dunia teks, pengarang, dan pembaca. Hermeneutika berbicara mengenai hampir semua hal yang berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Sedangkan semiotika membahas sesuatu yang lebih spesifik. Jika hermeneutika memberikan fokus cukup luas yang mencakup teks, pembacaan, pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi historis, dan kondisi psikologis pembaca maupun pengarang teks. Maka, semiotika mempersempit wilayah kajian tersebut dengan hanya memberikan fokus pembahasan hanya tentang tanda, fungsi, dan cara kerjanya

***

Tokoh utama peletak dasar semiotika modern adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913), seorang pengajar linguistik umum di Universitas Jenewa pada 1906. Dalam kumpulan catatan-catatan kuliahnya, Cours de Linguistique Général (1916), Saussure memperkenalkan semiologi atau semiotika sebagai ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi dan cara kerjanya

Pada perkembangan selanjutnya, semiologi ala Saussure melahirkan lingkaran intelektual yang sangat berpengaruh antara 1950-an sampai 1960-an. Mazhab tersebut disebut strukturalisme. Tesis utama strukturalis ialah bahwa alam dunia dapat dipahami selama kita mampu mengungkap adanya struktur yang menjamin keteraturan, atau pola sistematika benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena.

Pendekatan strukturalisme melahirkan karya-karya tafsir yang tentu saja menuntut pemaknaan tunggal. Ayat-ayat al-Quran hanya dapat diungkap oleh satu macam arti. Alasannya adalah karena memang terdapat sistem yang mapan di balik tanda-tanda al-Quran. Hubungan antara teks di dunia nyata dengan maknanya di dunia ide adalah baku dan tidak dapat diganggu gugat. Teks al-Quran sebagai penanda telah dikaitkan dengan apa yang disebut Jacques Lacan sebagai points de capiton, kancing pengait. Tentu saja pertanyaan yang muncul kemudian adalah: siapakah yang mempunyai hak untuk menetapkan point de capiton tersebut? Dan siapa pula yang menegaskan kebakuan hubungan antara teks al-Quran dengan maknanya?

Semiotika post-strukturalis datang dengan konsep yang berkebalikan dari gagasan strukturalisme. Post-strukturalisme mengganggap petanda yang merupakan pusat dari struktur selalu bergeser terus-menerus. Dengan demikian, tak ada yang disebut dengan pusat dan tak ada asal usul yang pasti. Semuanya akan menuju ke suatu permainan petanda yang tak terbatas, karena penanda tidak mempunyai hubungan yang pasti dengan petanda. Hubungan penanda-petanda adalah arbriter. Menurut Roland Barthes, petanda selalu mempunyai banyak arti (plus de sens). Tak ada hubungan intern antara konsep yang ditunjukkan dengan bunyi yang menunjukkannya, sehingga tak ada petanda yang pasti bagi penanda. Penanda bersifat polisemi, bermakna ganda, dan petanda dapat bergeser terus menerus dari penandanya.

Jacques Derrida, seorang filosof aliran post-strukturalis, menyebutkan bahwa tak ada perbedaan eksistensial di antara berbagai jenis literatur yang berlainan. Semua naskah memiliki ambiguitas fundamental yang merupakan akibat dari sifat natural bahasa itu sendiri. Begitu juga dengan al-Quran. Derrida bersikukuh bahwa ada banyak cara untuk membaca dan memahami teks. Makna teks tidak lagi sama dengan apa yang dikehendaki oleh si pengarang. Yang tercatat dalam naskah bisa menimbulkan “multiple- understanding” (keragaman pemahaman) pada saat yang sama.

Keinginan Derrida adalah membebaskan naskah. Naskah harus dibebaskan dari usaha pemaknaan tunggal resmi yang mungkin dikonstruk oleh budaya hegemonik atau oleh struktur-struktur kelembagaan formal yang menegaskan bentuk-bentuk wacana diskursif. Untuk tujuan tersebut, Derrida memperkenalkan konsep “dekonstruksi” yang memiliki tugas membebaskan naskah, mengembangkan dan mengungkap ambiguitas terpendam, menunjukkan kontradiksi internal, dan mengidentifikasi kelemahannya. Hal ini adalah kondisi yang selalu mungkin (condition of possibilities) yang terdapat pada teks.

Condition of possibilities merupakan kata kunci untuk memahami naskah al-Quran. Pada dasarnya, apakah yang sebenarnya berlaku dalam tafsir? Adakah struktur dibalik teks atau tidak. Jika memang teks dibangun di atas seperangkat sistem yang teratur, mengapa kemudian lumrah terjadi keberagaman pemahaman. Bahkan para sahabat pun kerapkali berselisih paham mengenai persoalan-persoalan keagamaan, terutama tafsir al-Quran.

***

Berkaitan dengan condition of possibilities teks yang berpotensi menimbulkan multi-pemahaman, Umberto Eco menyarankan agar bahasa diperlakukan seperti ensiklopedia yang selalu dinamis, terbuka, dan memungkinkan masuknya entry-entry baru. Tidak seperti kamus yang mirip “pohon porphyri” (model definisi, terstruktur melalu genre, spesies, dan pembeda).

Eco menunjukkan adanya perbedaan antara struktur kamus dan struktur ensiklopedia. Dalam linguistik konvensional, bahasa merupakan sebuah sistem yang statis dan tertutup. Model kamus pada bahasa tidak mampu menangani, meminjam istilah Peirce, “semiosis tak terbatas”—hasil dari fakta bahwa tanda dalam bahasa terkait dengan tanda-tanda lain, dan suatu naskah selalu menawarkan kesempatan penafsiran yang tak terhingga banyaknya. Sebaliknya, ensiklopedia akan sesuai dengan suatu jaringan tanpa pusat yang darinya tidak terdapat jalan keluar, atau jalan ke suatu model tak berhingga yang memberi kesempatan bagi unsur-unsur baru.

Agar bisa berfungsi dengan baik sebagai jaringan kata-kata yang memberikan kesempatan munculnya makna-makna baru, maka bahasa harus menjadi sistem dinamis yang terbuka dan mirip dengan ensiklopedia.

Begitu pula dengan tafsir. Pemaknaan ayat-ayat al-Quran yang disusun seperti struktur kamus sudah pasti akan menghasilkan sebuah sistem yang eksklusif, bersifat hegemonik, dan status-quois. Maka, alangkah baiknya jika pemaknaan al-Quran dilandasi oleh semangat ensiklopedia yang terbuka, inklusif, dinamis, dan memberikan kesempatan bagi pembebasan, baik pembebasan bagi makna itu sendiri maupun bagi masyarakat yang merasakan dampak positifnya secara langsung. []

Referensi: http://www.google.co.id/search?client=firefox-a&rls=org.mozilla%3Aen-US%3Aofficial&channel=s&hl=id&q=semiotika&meta=&btnG=Telusuri+dengan+Google

http://islamlib.com/id/index.php?page=article&mode=print&id=138

Semiotika Iklan Sosial (bagian I)

oleh: Sumbo Tinarbuko

PENDAHULUAN

Periklanan adalah fenomena bisnis modern. Tidak ada perusahaan yang ingin maju dan memenangkan kompetisi bisnis tanpa mengandalkan iklan. Demikian pentingnya peran iklan dalam bisnis modern sehingga salah satu bonafiditas perusahaan terletak pada berapa besar dana yang dialokasikan untuk iklan tersebut. Di samping itu, iklan merupakan jendela kamar dari sebuah perusahaan. Keberadaannya menghubungkan perusahaan dengan masyarakat. Khususnya konsumen.

Periklanan selain merupakan kegiatan pemasaran juga merupakan kegiatan komunikasi. Kegiatan pemasaran meliputi strategi pemasaran, yakni logika pemasaran yang dipakai unit bisnis untuk mencapai tujuan pemasaran (Kotler, 1991:416).

Menurut Liliweri (1991:20), kegiatan komunikasi adalah penciptaan interaksi perorangan dengan mengunakan tanda-tanda yang tegas. Komunikasi juga berarti pembagian unsur-unsur perilaku, atau cara hidup dengan eksistensi seperangkat ketentuan dan pemakaian tanda-tanda. Dari segi komunikasi, rekayasa unsur pesan sangat tergantung dari siapa khalayak sasaran yang dituju, dan melalui media apa sajakah iklan tersebut sebaiknya disampaikan. Karena itu, untuk membuat komunikasi menjadi efektif, harus dipahami betul siapa khalayak sasarannya, secara kuantitatif maupun kualitatif.

Pemahaman secara kuantitatif akan menjamin bahwa jumlah pembeli, dan frekuensi pembelian yang diperoleh akan sejalan dengan target penjualan yang telah ditetapkan. Pemahaman secara kualitatif akan menjamin bahwa pesan iklan yang disampaikan akan sejalan dengan tujuan pemasaran yang telah ditetapkan.

Sementara itu, periklanan menurut Kamus Istilah Periklanan Indonesia adalah pesan yang dibayar dan disampaikan melalui sarana media, antara lain: pers, radio, televisi, bioskop, yang bertujuan membujuk konsumen untuk melakukan tindak membeli atau mengubah perilakunya (Nuradi, 1996:4).

Iklan pada dasarnya adalah produk kebudayaan massa. Produk kebudayaan masyarakat industri yang ditandai oleh produksi dan konsumsi massal. Kepraktisan dan pemuasan jangka pendek antara lain merupakan nilai-nilai kebudayaan massa (Jefkins, 1996:27). Artinya, massa dipandang tidak lebih sebagai konsumen. Hubungan antara produsen dan konsumen adalah hubungan komersial semata saja. Interaksinya, tidak ada fungsi lain selain memanipulasi kesadaran, selera, dan perilaku konsumen.

Jenis iklan yang dipaparkan di atas adalah jenis iklan komersial. Pada dasarnya, periklanan dibagi menjadi dua. Pertama, iklan komersial. Kedua, iklan nonkomersial atau biasa disebut dengan istilah Iklan Layanan Masyarakat (ILM), yang akan menjadi inti tulisan ini.

Kehadiran ILM dimaksudkan sebagai citra tandingan (counter image) terhadap keberadaan iklan komersial. Karena selama ini, iklan komersial sering dituduh menggalakkan konsumerisme. Merangsang konsumen untuk berkonsumsi tinggi, dan menyuburkan sifat boros.

Sebagai sebuah citra tandingan, pada dasarnya ILM adalah alat untuk menyampaikan pesan sosial kepada masyarakat. Media semacam ini sering dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menyebarluaskan program-programnya. Sebagai media yang bergerak dalam bidang sosial, ILM pada umumnya berisi pesan tentang kesadaran nasional dan lingkungan. Misalnya ILM yang dibuat untuk menyukseskan program imunisasi nasional, pemberantasan nyamuk demam berdarah, virus flu burung, budaya gemar membaca, budaya menabung, menjaga lingkungan hidup, membuang sampah pada tempatnya, tertib lalulintas, wajib pajak, hemat listrik, donor darah, penyalahgunaan narkoba, dan sebagainya.

ILM adalah iklan sosial. Keberadaannya bersifat independen. Ia tidak terkait pada konsep bisnis perdagangan, politik atau agama. Bentuk fisiknya tidak berbeda dengan iklan komersial, sebab keduanya merupakan media komunikasi visual yang berperan untuk mempengaruhi khalayak luas sebagai target sasaran agar dapat tergerak hatinya untuk melakukan sesuatu yang dianjurkan oleh pesan ILM tersebut. Oleh karena itu, perencanaan sebuah ILM mengacu pada konsep iklan komersial.

Tampilan ILM harus tepat pada sasaran yang dituju. Karena pada dasarnya, ILM itu bertujuan menggugah kesadaran terhadap pemecahan suatu masalah sosial yang sedang aktual. Dalam sajiannya, ILM harus mampu bersaing di antara kolom-kolom berita informasi di media massa cetak dan iklan komersial yang menawan dalam tampilan visualnya.

ILM merupakan aktivitas periklanan yang berlandaskan gerakan moral. ILM mengemban tugas mulia membangun masyarakat melalui pesan-pesan sosial yang dikemas secara kreatif dengan pendekatan simbolis. Sayangnya muatan pesan verbal dan pesan visual yang dituangkan di dalam ILM terlalu banyak. Secara visual, desain ILM yang disajikan pun menjadi jelek, tidak komunikatif, kurang cerdas, dan terkesan menggurui. Akibatnya masyarakat luas yang diposisikan sebagai target sasaran dari ILM dengan serta merta akan mengabaikan pesan sosial yang disampaikan oleh ILM tersebut.

Dampak selanjutnya, pesan sosial yang ingin disampaikan oleh pemerintah menjadi mubasir. Artinya, pesan verbal dan pesan visual yang terkandung di dalam ILM sangat lambat untuk ditindaklanjuti oleh target sasaran. Hal itu terjadi karena frekuensi penayangan ILM di media massa khususnya media massa cetak perlu diperbanyak dan lebih bersifat agresif. Sebab dengan frekuensi penayangan yang sangat rendah, pesan-pesan sosial yang terkandung di dalamnya sangat muskil diposisikan dalam benak khalayak sasaran. Apalagi ditindaklanjuti dengan gerakan positif seperti diisyaratkan dalam pesan-pesan sosial ILM tersebut.

Jika dilihat dari wujudnya, ILM mengandung tanda-tanda komunikatif. Lewat bentuk-bentuk komunikasi itulah pesan tersebut menjadi bermakna. Di samping itu, gabungan antara tanda dan pesan yang ada pada ILM diharapkan mampu mempersuasi khalayak sasaran yang dituju. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji tanda verbal (terkait dengan judul, subjudul, dan teks) dan tanda visual (terkait dengan ilustrasi, logo, tipografi, dan tata visual) ILM dengan pendekatan teori semiotika. Dengan demikian, analisis semiotika diharapkan menjadi salah satu pendekatan untuk memperoleh makna yang terkandung di balik tanda verbal dan tanda visual dalam iklan layanan masyarakat.

Melalui pendekatan teori semiotika diharapkan ILM mampu diklasifikasikan berdasarkan tanda, kode, dan makna yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian dapat ditemukan kejelasan mengenai pertimbangan-pertimbangan estetik pada ILM dipandang dari hubungan antara tanda dan pesan.

Dengan pendekatan teori semiotika diharapkan dapat diketahui dasar keselarasan antara tanda verbal dengan tanda visual untuk mendukung kesatuan penampilan ILM serta mengetahui hubungan antara jumlah muatan isi pesan (verbal dan visual) dengan tingkat kreativitas pembuatan desain ILM.

Sementara itu, pesan yang dikemukakan dalam pesan ILM, disosialisasikan kepada khalayak sasaran melalui tanda. Secara garis besar, tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual.

Tanda verbal akan didekati dari ragam bahasanya, tema, dan pengertian yang didapatkan. Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara menggambarkannya, apakah secara ikonis, indeksikal, atau simbolis, dan bagaimana cara mengungkapkan idiom estetiknya. Tanda-tanda yang telah dilihat dan dibaca dari dua aspek secara terpisah, kemudian diklasifikasikan, dan dicari hubungan antara yang satu dengan lainnya.

SEMIOTIKA SEBAGAI ILMU

Semiotika berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. Dalam pandangan Piliang, penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan ini dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri (Piliang, 1998:262).

Semiotika menurut Berger (2000:10). memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan di antara keduanya tidak saling mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan Saussure adalah linguistik, sedangkan Peirce filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology).

Semiologi menurut Saussure seperti dikutip Hidayat, didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakangnya sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda di sana ada sistem (Hidayat, 1998:26).

Sedangkan Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika (semiotics). Bagi Peirce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat diterapkan pada segala macam tanda (Berger, 2000:11-22). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih populer daripada semiologi.

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semuanya itu dianggap sebagai tanda (Zoest, 1993:18).

Menurut Saussure, seperti dikutip Pradopo (1991:54) tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama.

Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, obyek dan sebagainya.

Petanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna.

Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) sesuatu hal (benda) yang lain yang disebut referent. Lampu merah mengacu pada jalan berhenti. Wajah cerah mengacu pada kebahagiaan. Air mata mengacu pada kesedihan. Apabila hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang melihat atau mendengar akan timbul pengertian (Eco, 1979:59).

Menurut Pierce, tanda (representamen) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu (Eco, 1979:15). Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut objek (denotatum). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukakan Pierce terkenal dengan nama segitiga semiotik.

Selanjutnya dikatakan, tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol.

Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Bila ada hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Tanda seperti ini disebut metonimi. Contoh indeks adalah tanda panah petunjuk arah bahwa di sekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Langit berawan tanda hari akan hujan. Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan.

Ikon, indeks, simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar (bentuk), objek (referent) dan konsep (interpretan atau reference). Bentuk biasanya menimbulkan persepsi dan setelah dihubungkan dengan objek akan menimbulkan interpretan. Proses ini merupakan proses kognitif dan terjadi dalam memahami pesan iklan.

Rangkaian pemahaman akan berkembang terus seiring dengan rangkaian semiosis yang tidak kunjung berakhir. Selanjutnya terjadi tingkatan rangkaian semiosis. Interpretan pada rangkaian semiosis lapisan pertama, akan menjadi dasar untuk mengacu pada objek baru dan dari sini terjadi rangkaian semiosis lapisan kedua. Jadi, apa yang berstatus sebagai tanda pada lapisan pertama berfungsi sebagai penanda pada lapisan kedua, dan demikian seterusnya.

Terkait dengan itu, Barthes mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semuanya itu berlangsung ketika interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda.

Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Jika teori itu dikaitkan dengan bekerjanya sebuah iklan layanan masyarakat, maka setiap pesan ILM merupakan pertemuan antara signifier (lapisan ungkapan) dan signified (lapisan makna). Lewat unsur verbal dan visual (nonverbal), diperoleh dua tingkatan makna, yakni makna denotatif yang didapat pada semiosis tingkat pertama dan makna konotatif yang didapat dari semiosis tingkat berikutnya. Pendekatan semiotik terletak pada tingkat kedua atau pada tingkat signified, makna pesan dapat dipahami secara utuh (Barthes, 1998:172-173).

Mengingat ILM mempunyai tanda berbentuk bahasa verbal dan visual, serta merujuk bahwa teks ILM dan penyajian visualnya juga mengandung ikon terutama berfungsi dalam sistem-sistem nonkebahasaan untuk mendukung peran kebahasaannya, maka pendekatan semiotik terhadap ILM layak diterapkan.

Konsep dasar semiotik yang digunakan dalam tulisan ini mengacu pada Roland Barthes yang berangkat dari pendapat Ferdinand de Saussure. Pendekatan ini menekankan pada tanda-tanda yang disertai maksud (signal) serta berpijak dari pandangan berbasis pada tanda-tanda yang tanpa maksud (symptom). Iklan Layanan Masyarakat sebagai salah satu karya desain komunikasi visual mempunyai tanda yang ber-signal dan ber-symptom, dan dalam memaknai makna ILM harus mengamati ikon, indeks, simbol, dan kode sosial yang menurut Barthes adalah cara mengangkat kembali fragmen-fragmen kutipan (Zoest, 1993:39-42).

Sebab esensi membongkar makna ILM dapat dilihat dari adanya hubungan antara gejala struktural yang diungkapkan oleh tanda dan gejala yang ditunjukkan oleh acuannya. Hasilnya akan dapat dilihat dan diketahui bagaimana tanda-tanda tersebut berfungsi.

SEMIOTIKA SEBAGAI METODE ANALISIS TANDA ILM

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif. Ia mampu menggantikan sesuatu yang lain yang dapat dipikirkan atau dibayangkan. Cabang ilmu ini semula berkembang dalam bidang bahasa, kemudian berkembang pula dalam bidang seni rupa dan desain komunikasi visual.

Sementara itu, Charles Sanders Pierce, menandaskan bahwa kita hanya dapat berpikir dengan medium tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda.

Tanda dalam kehidupan manusia bisa tanda gerak atau isyarat. Lambaian tangan yang bisa diartikan memanggil atau anggukan kepala dapat diterjemahkan setuju. Tanda bunyi, seperti tiupan peluit, terompet, genderang, suara manusia, dering telpon. Tanda tulisan, di antaranya huruf dan angka. Bisa juga tanda gambar berbentuk rambu lalulintas, dan masih banyak ragamnya (Noth, 1995:44).

TANDA (IKON, INDEKS, SIMBOL)

Merujuk teorinya Pierce, maka tanda-tanda dalam gambar dapat dilihat dari jenis tanda yang digolongkan dalam semiotik. Di antaranya: ikon, indeks dan simbol (Noth, 1995:45).

Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Dapat pula dikatakan, tanda yang memiliki ciri-ciri sama dengan apa yang dimaksudkan. Misalnya, foto Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah ikon dari Pak Sultan. Peta Yogyakarta adalah ikon dari wilayah Yogyakarta yang digambarkan dalam peta tersebut. Cap jempol Pak Sultan adalah ikon dari ibu jari Pak Sultan.

Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab akibat dengan apa yang diwakilinya. Atau disebut juga tanda sebagai bukti. Contohnya: asap dan api, asap menunjukkan adanya api. Jejak telapak kaki di tanah merupakan tanda indeks orang yang melewati tempat itu. Tanda tangan (signature) adalah indeks dari keberadaan seseorang yang menorehkan tanda tangan itu.

Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya: Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang memiliki perlambang yang kaya makna. Namun bagi orang yang memiliki latar budaya berbeda, seperti orang Eskimo, misalnya, Garuda Pancasila hanya dipandang sebagai burung elang biasa.

KODE

Kode, merujuk terminologi sosiolinguistik ialah variasi tutur yang memiliki bentuk yang khas, serta makna yang khas pula (Poedjosoedarmo, 1986:27). Sementara itu, kode menurut Piliang (1998:17), adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan disampaikan dari seseorang ke orang lainnya. Di dalam praktik bahasa, sebuah pesan yang dikirim kepada penerima pesan diatur melalui seperangkat konvensi atau kode. Umberto Eco menyebut kode sebagai aturan yang menjadikan tanda sebagai tampilan yang konkret dalam sistem komunikasi. (Eco, 1979:9).

Fungsi teks-teks yang menunjukkan pada sesuatu (mengacu pada sesuatu) dilaksanakan berkat sejumlah kaidah, janji, dan kaidah-kaidah alami yang merupakan dasar dan alasan mengapa tanda-tanda itu menunjukkan pada isinya. Tanda-tanda ini menurut Jakobson merupakan sebuah sistem yang dinamakan kode (Hartoko, l992:92).

Kode pertama yang berlaku pada teks-teks ialah kode bahasa yang digunakan untuk mengutarakan teks yang bersangkutan. Kode bahasa itu dicantumkan dalam kamus dan tata bahasa. Selain itu, teks-teks tersusun menurut kode-kode lain yang disebut kode sekunder, karena bahannya ialah sebuah sistem lambang primer, yaitu bahasa. Sedangkan struktur cerita, prinsip-prinsip drama, bentuk-bentuk argumentasi, sistem metrik, itu semua merupakan kode-kode sekunder yang digunakan dalam teks-teks untuk mengalihkan arti.

Roland Barthes dalam bukunya S/Z mengelompokkan kode-kode tersebut menjadi lima kisi-kisi kode, yakni kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi, dan kode kultural atau kode kebudayaan (Barthes, 1974:106). Uraian kode-kode tersebut dijelaskan Pradopo (1991:80-81) sebagai berikut:

Kode Hermeneutik, yaitu artikulasi berbagai cara pertanyaan, teka-teki, respons, enigma, penangguhan jawaban, akhirnya menuju pada jawaban. Atau dengan kata lain, Kode Hermeneutik berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul? Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang satu menunda jawaban lain.

Kode Semantik, yaitu kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi feminitas, maskulinitas. Atau dengan kata lain Kode Semantik adalah tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi maskulin, feminin, kebangsaan, kesukuan, loyalitas.

Kode Simbolik, yaitu kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduaan, pertentangan dua unsur, skizofrenia.

Kode Narasi atau Proairetik yaitu kode yang mengandung cerita, urutan, narasi atau antinarasi.

Kode Kebudayaan atau Kultural, yaitu suara-suara yang bersifat kolektif, anomin, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni, legenda.

MAKNA (DENOTATIF DAN KONOTATIF)

Kita semua seringkali menggunakan makna tetapi sering kali pula kita tidak memikirkan makna itu. Ketika kita masuk ke dalam sebuah ruangan yang penuh dengan perabotan, di sana muncul sebuah makna. Seseorang sedang duduk di sebuah kursi dengan mata tertutup dan kita mengartikan bahwa ia sedang tidur atau dalam kondisi lelah. Seseorang tertawa dengan kehadiran kita dan kita mencari makna; apakah ia mentertawai kita atau mengajak kita tertawa? Seorang kawan menyeberang jalan dan melambaikan tangannya ke arah kita, hal itu berarti ia menyapa kita. Makna dalam satu bentuk atau bentuk lainnya, menyampaikan pengalaman sebagian besar umat manusia di semua masyarakat.

Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol mengacu pendapat Spradley (l997:121) adalah objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Semua simbol melibatkan tiga unsur: pertama, simbol itu sendiri. Kedua, satu rujukan atau lebih. Ketiga, hubungan antar simbol dengan rujukan. Semuanya itu merupakan dasar bagi keseluruhan makna simbolik. Sementara itu, simbol sendiri meliputi apapun yang dapat kita rasakan atau alami.

Menggigil bisa diartikan dan dapat pula menjadi simbol ketakutan, kegembiraan atau yang lainnya. Mencengkeram gigi, mengerdipkan mata, menganggukkan kepala, menundukkan tubuh, atau melakukan gerakan lain yang memungkinkan, semuanya dapat merupakan simbol.

Salah satu cara yang digunakan para pakar untuk membahas lingkup makna yang lebih besar adalah dengan membedakan makna denotatif dengan makna konotatif.

Spradley (l997:122) menjabarkan makna denotatif meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata (makna referensial). Piliang (1998:14) mengartikan makna denotatif adalah hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi atau realitas dalam pertandaan tahap denotatif, Misalnya, ada gambar manusia, binatang, pohon, rumah. Warnanya juga dicatat, seperti merah, kuning, biru, putih, dan sebagainya. Pada tahapan ini hanya informasi data yang disampaikan.

Spradley (l997:123) menyebut makna konotatif meliputi semua signifikansi sugestif dari simbol yang lebih daripada arti referensialnya. Menurut Piliang (1998:17), makna konotatif meliputi aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi. Contohnya, gambar wajah orang tersenyum, dapat diartikan sebagai suatu keramahan, kebahagiaan. Tetapi sebaliknya, bisa saja tersenyum diartikan sebagai ekspresi penghinaan terhadap seseorang. Untuk memahami makna konotatif, maka unsur-unsur yang lain harus dipahami pula.

Menurut Williamson, dalam teori semiotika iklan menganut prinsip peminjaman tanda sekaligus peminjaman kode sosial. Misalnya, iklan yang menghadirkan bintang film terkenal, figur bintang film tersebut dipinjam mitosnya, idiologinya, imagenya, dan sifat-sifat glamour dari bintang film tersebut.

Williamson membagi a currency of sign menjadi beberapa bagian. Di antaranya product as signified (produk sebagai petanda, konsep atau makna), product as signifier (produk sebagai penanda, bentuk), product as generator, and product as currency (Williamson, 1984:24-38).

Hal tersebut di atas adalah teori semiotika strukturalis. Kaum strukturalis mencoba mengungkapkan prinsip bahwa perbuatan manusia mengisyaratkan sistem yang diterima dari berbagai hubungan, yang diterapkan oleh Barthes kepada semua praktik sosial. Ia menafsirkan hal-hal itu sebagai sistem tanda yang beroperasi atas model bahasa.

Dalam semiotika struktural berpegang pada prinsip Form Follows Function, dengan mengikuti model semiotika penanda atau fungsi (Piliang, 1998:298). Semiotika struktural mengacu pada Saussure dan Barthes dengan signifier (penanda, bentuk) dan signified (petanda, makna). Hubungan antara penanda dan petanda relatif stabil dan abadi.

Pada jantung strukturalisme menurut Pradopo, ada ambisi ilmiah untuk menemukan kode, aturan, sistem yang mendasari semua praktik sosial dan kebudayaan manusia (Pradopo, 1991:71).

Sedangkan pascastrukturalis menurut Piliang, mengacu pada konsep intertekstualitas Julia Kristeva dan konsep dekonstruksi dari Jacques Derrida. Julia Kristeva misalnya, ia tergabung dalam Tel Quel Perancis menggunakan istilah intertekstualitas untuk menjelaskan fenomena dialog antarteks, kesalingtergantungan antara suatu teks (karya) dengan teks (karya) sebelumnya. Kristeva melihat kelemahan dalam konsep referensi dari formalisme dan modernisme yang cenderung melecehkan kutipan atau kuotasi. Bagi Kristeva, sebuah teks atau karya seni tidak lebih semacam permainan dan mosaik kutipan-kutipan dari berbagai teks atau karya masa lalu. Ia mengistilahkan semacam ruang ‘pasca sejarah’ yang di dalamnya beberapa kutipan dari berbagai ruang, waktu, dan kebudayaan yang berbeda-beda saling melakukan dialog. Sebagaimana yang dikemukakan Kristeva, sebuah teks (karya) hanya dapat eksis apabila di dalamnya, beberapa ungkapan yang berasal dari teks-teks lain, silang menyilang dan saling menetralisir satu dengan lainnya.

Sebagai proses linguistik dan diskursif, Kristeva menjelaskan intertektualitas sebagai pelintasan dari satu sistem tanda ke sistem tanda lainnya. Ia menggunakan istilah ‘transposisi’ untuk menjelaskan perlintasan di dalam ruang pascasejarah ini, yang di dalamnya satu atau beberapa sistem tanda digunakan untuk menginterogasi satu atau beberapa sistem tanda yang ada sebelumnya. Interogasi tekstual ini dapat menghasilkan ungkapan-ungkapan baru yang sangat kaya dalam bentuk maupun makna. Interogasi ini dapat berupa peminjaman atau penggunaan (pastiche), distorsi, plesetan, atau permainan makna untuk tujuan kritis, sinisme, atau sekadar lelucon (parodi), pengelabuhan identitas dan penopengan (camp), serta reproduksi ikonis atau kitch.

Sebuah teks postmodernisme bukanlah ekspresi tunggal dan individual sang seniman; kegelisahannya, ketakutannya, ketertekanannya, keterasingannya, kegairahannya atau kegembiraannya, melainkan sebuah permainan dengan kutipan-kutipan bahasa. Kecenderungan posmodernisme adalah menerima segala macam pertentangan dan kontradiksi di dalam karyanya, disebabkan bercampuraduknya berbagai bahasa. Teks posmodernisme, tidak bermakna tunggal, akan tetapi adalah aneka ragam bahasa masa lalu dan sudah ada, dengan asal muasal yang tidak pasti, yang di dalamnya aneka macam tulisan, tak satu pun di antaranya yang orisinal, bercampur dan berinteraksi. Teks adalah sebuah jaringan kutipan-kutipan yang diambil dari berbagai pusat kebudayaan yang tak terhitung jumlahnya (Piliang, 1998:284).

Ciri-ciri pascastrukturalis: pertama, tanda tidak stabil, sebuah penanda tidak mengacu pada sebuah makna yang pasti. Dalam hal tertentu terjadi ambiguitas, yakni sesuatu yang dianggap sah. Kedua, membongkar hirarki makna. Pada oposisi biner, hirarki makna itu dibongkar. Ketiga, menciptakan heterogenitas makna, terbentuk pluralitas makna, pluralitas tanda yaitu persamaan hak dalam pertandaan.

Dalam postmodernisme menggunakan prinsip Form Follows Fun dengan model semiotika penanda dan makna ironis (Piliang, 1998:298).

Terkait dengan itu, maka pembahasan ILM dengan kajian semiotika dalam penelitian ini akan mengunakan teorinya Pierce untuk melihat tanda iklan (ikon, indeks, simbol), teorinya Barthes untuk melihat kode (kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi, kode kebudayaan), teorinya Saussure untuk melihat makna konotatif dan makna denotatif. Kemudian Williamson dengan teori semiotika iklan terkait dengan peminjaman tanda dan kode sosial juga dimanfaatkan untuk memahami ILM yang menjadi kajian tulisan ini. Di samping tentunya semiotika strukturalis dan semiotika pascastrukturalis. Hal ini menjadi penting karena untuk kasus tertentu, semiotika strukturalis tidak bisa untuk menganalisis teks ILM, ketika ILM tersebut keluar dari kode yang berlaku. Dengan demikian, semiotika strukturalis yang stabil tidak bisa menjelaskan teks yang bersifat labil, untuk itu diperlukan semiotika pasca strukturalis.

bersambung ke Semiotika Iklan Sosial (bagian II).

Semiotika Iklan Sosial (bagian III)

2. Analisis Semiotika ILM Membaca versi Seekor Unta

(Kompas, 31 Desember 1996)

Membaca setiap hari, seteguk pengetahuan bagi kehidupan kita.

Tanda Verbal:

Headline:

Mau pintar tanpa perlu membaca? Jadilah seekor unta.

Teks:

Sebuah perumpamaan klasik mengatakan: ’’Membaca adalah sumber pengetahuan. Nilainya ibarat seteguk air bagi tubuh kita’’.

Memang benar. Dan tak ada satu manusia pun di dunia ini bisa jadi pintar tanpa membaca. Termasuk mereka yang tergolong jenius sekali pun.

Hanya dengan memiliki kebiasaan membaca seperti kebiasaan minum air setiap hari, kita bisa membuat pikiran kita terus ’’hidup’’ dengan pengetahuan. Kecuali, bila kita adalah seekor unta yang sanggup bertahan hidup berhari-hari tanpa minum.

Closing Word:

Membaca setiap hari, seteguk pengetahuan bagi kehidupan kita.

Tanda Visual:

Ikon seekor unta yang memakai kacamata dan berdasi. Idiom estetik yang digunakan adalah idiom estetik parodi dan personifikasi.

Analisis Semiotika:

ILM berukuran 9 kolom kali 27 cm ini dirancang oleh Cipta Citra Advertising dan dimuat di harian Kompas tanggal 31 Desember 1996. Penempatan bidang ILM ditata secara horizontal. Komposisi yang digunakan komposisi dinamis, hal itu ditunjang dengan penempatan ilustrasi yang sedikit digeser ke kanan. Di samping itu, nuansa dinamis dan ekspresif juga terlihat dari ilustrasi yang dikerjakan dengan teknik hand drawing yang digoreskan secara spontan, ekspresif, dan lugas.

Dampak dari digesernya ilustrasi ke arah kanan memberikan kesan keluasan atau bidang kosong dari desain ILM tersebut. Hal itu ditopang dengan penempatan desain ILM secara horizontal. Bidang kosong pada ILM ini mempunyai makna konotasi tentang luasnya belantara ilmu pengetahuan yang harus kita ketahui. Masa depan manusia masih panjang, untuk itu dengan memiliki kebiasaan membaca seperti kebiasaan minum setiap hari, bisa membuat pikiran kita terus hidup dengan pengetahuan. Atau bisa juga mempunyai makna sebaliknya, masa depan kita semakin gelap karena kita tidak memiliki wawasan dan pengetahuan, akibatnya kita hanya akan menjadi manusia terjajah yang tidak berkembang akal dan pikiran kita. Center of interest tampak kepala unta berada pada titik tengah bidang iklan yang didominasi warna hitam pekat. Sedangkan gambar dasi yang berkibar di leher unta berfungsi sebagai penunjuk dan menekankan kalimat ’’Jadilah seekor unta’’.

Headline, teks, dan closing word menggunakan jenis huruf Sans Serif, garis huruf sama tebal dan tidak mempunyai kaki. Jenis huruf ini bersifat netral dan mudah dibaca.

Penempatan headline yang dipecah menjadi dua, di atas dan di bawah ilustrasi memberikan makna konotasi tentang sempitnya wawasan dan pengetahuan seseorang karena ia tidak mau menambah dan mengembangkan wawasan tersebut dengan membiasakan diri membaca. Makna konotasi tersebut terlihat pada posisi kalimat ’’Mau pintar tanpa perlu membaca?’’ menekan ilustrasi. Sehingga keberadaan ilustrasi menjadi dikerdilkan.

ILM yang dicetak dengan warna hitam putih dengan teknik positif negatif ini mampu bersaing di antara deretan kolom surat kabar harian Kompas yang berisi susunan huruf. Dengan dominasi blok hitam sebagai latar ILM dan headline berwarna putih mampu menarik perhatian pembaca untuk mencermati ILM yang dikemas dengan idiom estetik parodi.

Berdasarkan tanda verbal dan tanda visual maka bisa dicermati pesan ILM tersebut dengan bantuan kode hermeneutik, kode simbolik, kode narasi, dan kode kebudayaan.

Kode hermeneutik terlihatpada aspek pertanyaan, teka-teki, dan enigma. Ketiga aspek kode hermeneutik itu tampak pada headline yang berbunyi: ‘’Mau pintar tanpa perlu membaca?’’. Kalimat tersebut bernada pertanyaan, sekaligus teka-teki, dan enigma. Sebab jika headline itu dikupas lebih jauh, akan menimbulkan pertanyaan, bagaimana mungkin kita bisa pintar tanpa membaca. Kemudian kalimat di bawahnya seolah-olah berbentuk jawaban tetapi masih merupakan teka-teki: ‘’Jadilah seekor unta’’. Kalimat tanya yang dimunculkan oleh headline dan jawaban dari kalimat tanya itu masih merupakan enigma dan tidak ada korelasi antara yang satu dengan lainnya.

Kegamangan dari enigma headline tersebut baru terjawab ketika menyimak teks berbunyi: ‘’… Hanya dengan memiliki kebiasaan membaca seperti kebiasaan minum air setiap hari, kita bisa membuat pikiran kita terus ’’hidup’’ dengan pengetahuan. Kecuali, bila kita adalah seekor unta yang sanggup bertahan hidup berhari-hari tanpa minum’’. Makna konotasi dari tanda verbal tersebut, wawasan dan tingkat intelektualitas kita rendah ketika tidak mempunyai kebiasaan membaca.

Kode visual hermeneutik terlihat pada tanda visual berupa ikon seekor unta yang didandani sedemikian rupa menggunakan kacamata dan dasi. Visualisasi ikon seekor unta merupakan enigma dan parodi dari sifat manusia instan yang maunya serba enak, tidak mau menerapkan peribahasa: berakit-rakit ke hulu, berenang-renang kemudian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Visualisasi ikon seekor unta tersebut merupakan personifikasi dari seorang intelektual, kaum profesional yang mempunyai wawasan dan kepandaian yang mumpuni. Kacamata dan dasi yang dijadikan atribut unta merupakan parodi dari mitos kepandaian, intelektualitas, modern, dan profesionalisme.

Kode simbolik terlihat pada aspek kemenduaan, pertentangan dua unsur dan kontradiksi. Ketiga aspek kode simbolik itu bisa diterapkan pada sifat kontradiksi dari headline berbunyi: ’’Mau pintar tanpa perlu membaca?’’. Pertentangan dua unsur atau kontradiksi ini terlihat pada kata ’’mau pintar’’, dengan kata ’’tanpa perlu membaca’’.

Kode narasi yaitu kode yang mengandung cerita, terlihat dari keseluruhan tanda verbal ILM tersebut, terutama pada teks.

Kode visual narasi terkandung pada tanda visual berupa ikon seekor unta. Keberadaannya menceritakan tentang mitos unta yang diyakini sebagai binatang yang bodoh, tetapi ia mau belajar dari pengalaman. Ketika ia berjalan di belantara padang pasir, ia tidak akan terperosok pada lubang yang sama untuk kedua kalinya. Makna konotatifnya, ia mau belajar dengan mata batinnya. Ketika mitos unta itu diparalelkan dengan manusia yang mempunyai akal dan budi, akankah hal itu terjadi?

Kode kebudayaan nampak pada aspek mitos dan pengetahuan. Mitos unta diyakini oleh masyarakat Timur Tengah sebagai binatang padang pasir yang selalu belajar dari pengalaman. Sebab sebodoh-bodohnya unta, ia tidak akan pernah terperosok dalam lubang yang sama. Makna konotasinya, jika manusia dalam kehidupan kesehariannya selalu mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan, berarti ia lebih tolol dari seekor unta. Makna konotasi dari mitos unta tersebut sebenarnya sudah tersirat dalam headline yang berbunyi: ‘’Mau pintar tanpa perlu membaca? Jadilah seekor unta’’.

Aspek pengetahuan tersirat pada closing word: ‘’Membaca setiap hari, seteguk pengetahuan bagi kehidupan kita’’ yang diperjelas dengan teks yang terdapat pada ILM tersebut.

Tanda visual yang ditampilkan dalam ILM ini adalah ikon seekor unta. Visualisasi tanda visual tersebut menggunakan idiom estetik parodi dan personifikasi. Ikon seekor unta itu memparodi manusia yang terjebak budaya jalan pintas, dan budaya yang menisbikan proses, termasuk di antaranya budaya membaca. Meski pun si unta itu didandani dengan kacamata dan berdasi yang merupakan personifikasi dari mitos kepandaian, modern, profesionalisme, dan wawasan yang jembar, tetapi ia tetap kelihatan bodoh dari ekspresi wajahnya yang nyengir dan melongo. Tanda visual tersebut mempertegas teks yang berkonotasi pembenaran bahwa tidak ada satu manusia pun di dunia ini bisa pintar tanpa membaca.

Dari analisis berdasarkan tanda verbal dan tanda visual yang terkandung dalam ILM ini dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang erat antara tanda verbal dan tanda visual. Keduanya saling melengkapi. Parodi dan personifikasi yang merupakan idiom estetik tanda visual menjadi kuat keberadaannya sebagai visualisasi dari tanda verbal. Maka kesimpulannya, tanda bermakna sebagai pengetahuan budaya baca.

PENUTUP

Pesan yang terdapat pada berbagai karya iklan layanan masyarakat adalah pesan yang disampaikan kepada khalayak sasaran dalam bentuk tanda. Secara garis besar, tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual. Tanda verbal didekati dari ragam bahasa, gaya penulisan, tema dan pengertian yang didapatkan. Tanda visual dilihat dari cara menggambarkannya, apakah secara ikonis, indeksikal, atau simbolis.

Penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan – dalam hal ini karya ILM yang merupakan bagian dari ranah kreatif desain komunikasi visual – dimungkinkan, karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Artinya, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Bertolak dari pandangan semiotika tersebut, jika sebuah praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya – termasuk karya desain komunikasi visual – dapat juga dilihat sebagai tanda-tanda. Hal itu menurut Yasraf A Piliang dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri.

Mengingat karya iklan layanan masyarakat mempunyai tanda berbentuk verbal (bahasa) dan visual, serta merujuk bahwa teks karya iklan layanan masyarakat penyajian visualnya mengandung ikon terutama berfungsi dalam sistem-sistem nonkebahasaan untuk mendukung pesan kebahasaan, maka pendekatan semiotika sebagai sebuah metode analisis tanda guna mengupas makna karya iklan layanan masyarakat layak diterapkan dan disikapi secara proaktif sesuai dengan konteksnya.

DAFTAR PUSTAKA

Barthes, Roland. 1974. S/Z. Penerjemah Richard Miller. New York: Hill and Wang, Buku asli diterbitkan tahun 1970.

Barthes, Roland. 1998. The Semiotics Challenge. New York: Hill and Wang.

Bakhtin, Mikhail. l981. The Dialogic Imagination. Massachussets: Harvard University Press.

Berger, Arthur Asa. 2000. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Penerjemah M. Dwi Marianto dan Sunarto. Yogyakarta: Penerbit PT Tiara Wacana, buku asli diterbitkan tahun 1984.

———- ‘’Dagadu Djokdja: Perjalanan Empat Tahun Pertama’’. l997. Yogyakarta: PT Aseli Dagadu Djokdja.

Eco, Umberto. l979. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press.

Fiske, John. 2005. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. PenerjemahYosal Iriantara dan Idi Subandy Ibrahim. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra, buku asli diterbitkan tahun 1990.

Hoedoro Hoed, Benny. 1994. ‘’Dampak Komunikasi Periklanan, Sebuah Ancangan dari Segi Semiotik’’. Jurnal Seni BP ISI Yogyakarta IV/2. 111-133.

Hornby, A.E. (ed). l974. Oxford Advanced Learner Dictionary. London: Oxford University Press.

Hutcheon, Linda. l985. A Theory of Parody, The Teaching of Twentieth Century Art Form. Methuen.

Jefkins, Frank. 1996. Periklanan. Penerjemah Haris Munandar. Jakarta: Penerbit Erlangga, buku asli diterbitkan tahun 1985.

Jewler, A. Jerome., dan Drewniany Bonnie, L. 2001. Creative Strategy in Advertising. USA: Wadsworth Thomson Learning, 10 Davis Drive Belmont.

Kasali, Rhenald. 1992. Manajemen Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Kotler, Philip. 1991. Marketing. Penerjemah Herujati Purwoko. Jakarta: Penerbit Erlangga, buku asli diterbitkan tahun 1984.

Liliweri, Alo. 1991. Memahami Peran Komunikasi Massa dalam Masyarakat. Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti.

Luxemburg, Jan van., Bal, Mieke., dan Weststeijn, Willem, G. l992. Pengantar Ilmu Sastra. Penerjemah : Dick Hartoko. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, buku asli diterbitkan tahun 1982.

Miryam, Bebe Indah. 1984. ‘’Iklan Layanan Masyarakat’’, Skripsi, Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Nizar, M dan Mawardi. l972. Saduran Basic Design. Yogyakarta: STSRI ‘’ASRI’’.

Noth, Winfriend. 1995. Handbook of Semiotics. Blommington and Indianapolis: Indiana University Press.

Nuradi. 1996. Kamus Istilah Periklanan Indonesia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Piliang, Yasraf Amir. 1998. Sebuah Dunia yang Dilipat, Realitas Kebudayaan menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Bandung: Penerbit Mizan.

Piliang, Yasraf Amir. l999. Hiper-Realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS.

Piliang, Yasraf Amir. 2004. ‘’Metode Penelitian Desain : Berbagai Kecenderungan Masa Kini’’. Jurnal Seni Rupa dan Desain Visual, FSRD Untar Jakarta VI/2. 78-94.

Pirous, AD. 1989. ‘’Desain Grafis pada Kemasan’’. Makalah Simposium Desain Grafis, FSRD ISI Yogyakarta.

Sanyoto, Sadjiman Ebdi. 2006. Metode Perancangan Komunikasi Visual Periklanan. Yogyakarta: Dimensi Press.

Saussure, Ferdinand de. 1998. Pengantar Linguistik Umum. Penerjemah Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gadjahmada University Press, buku asli diterbitkan tahun 1973.

Selden, Raman. l99l. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Penerjemah Rachmat Djoko Pradopo. Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada University Press, buku asli diterbitkan tahun 1985.

Subakti, Baty. 1993. Sejarah Periklanan Indonesia. Jakarta: Penerbit Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.

Sutanto, T. 2005. ‘’Sekitar Dunia Desain Grafis/Komunikasi Visual’’. Pura-pura Jurnal DKV ITB Bandung. 2/Juli. 15-16.

Spradly, James, P. 1997. Metode Etnografi.Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Penerbit PT Tiara Wacana.

Tinarbuko, Sumbo. 2001. ‘’Semiotika Desain Dagadu Djokdja’’. Yogyakarta: Dagadu For Beginners Pakuningratan.

Tinarbuko, Sumbo. 1998. ‘’Memahami Tanda, Kode, dan Makna Iklan Layanan Masyarakat’’. Tesis. Bandung: ITB Bandung

Williamson, Judith. 1984. Decoding Advertisements, Ideology and Meaning in Advertising. London: Marion Boyars Publishers Ltd, 24 Lacy Road.

Widagdo. 1993. ‘’Desain, Teori, dan Praktek’’. Seni Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni. BP ISI Yogyakarta III/03.

. . . . . .